Bantengan dan shuffle. Itu bentuk-bentuk tarian kaum
muda yang banyak saya temukan di sekitar kota wisata Batu. Laki-laki maupun
perempuan persentasenya kurang lebih sama. Sarana eksis? Kota Batu bahkan punya
agenda Bantengan Nuswantara. Sebuah festival bantengan yang melibatkan pula
tim-tim dari beberapa daerah lain. Suffle? Tentu saja bakal mudah ditemukan
dalam pensi di berbagai sekolah. Tidak ada yang salah dengan itu semua.
Bagaimana
dengan remo khas Batu? Topeng Malangan? Tarian-tarian halus yang lain? Saya
bahkan mulai menemukan sekolah-sekolah yang tidak memiliki ekstrakurikuler
menari. Wow. Padahal dalam berita sering saya temukan mahasiswa atau pelajar
asing yang tekun belajar tari tradisional Indonesia. Saya tidak bangga dengan
itu. Saya justru sedih karena tidak mendapati semangat yang sama pada
murid-murid saya. Jangan sampai kita terlambat. Bayangkan bagaimana malunya
kita bila suatu saat nanti kita harus ke Amsterdam untuk belajar tari Remo.
Dalam obrolan
ringan dengan pembina tari di SMP Tamansiswa Batu, bertemulah dua kegelisahan. Jawaban
dari kegelisahan itu adalah, kami mendirikan sanggar seni. Tepat di SMP
Tamansiswa, Batu. Misi kami adalah bangga menari tradisional. Sehingga visi ke
depan adalah satu tarian dalam setiap siswa. Agar lebih meriah, kami melengkapi
sanggar ini dengan bagian lukis, menggambar dan handycraft.
Adapun jadwal
kegiatan Taman Budaya bagian tari, terhitung mulai Januari 2013 adalah setiap hari
Minggu, dengan alokasi waktu:
-
Taman
Ceria {PG – TK – 1 SD}: 09.00 – 10.00
-
Taman Muda {4-5 SD}: 10.00 – 11.00
-
Taman
Sari {6 SD - SMP –SMA}: 11.00 – 12.00
-
Taman Indria {2-3 SD}: 12.30 – 13.30
-
Taman Dewasa {Umum}: 13.30 – 14.30 (jadwal bisa dirubah jika diperlukan)
Jadwal kelas handycraft dan menggambar dapat
dibicarakan dengan pengajar.
Semoga langkah kecil ini bisa menjadi awal gerakan yang lebih besar
untuk menjadikan budaya Indonesia tuan rumah di negeri sendiri.