PERTEMANAN
Oleh
Agustina Dewi Susanti
“Ayo,
Gy, kita ke Morieta.” ajak Denada dan Weny seraya menggamit lenganku. Seperti
biasa, aku tidak bisa menolak ajakan Denada dan teman-teman untuk window shopping di sebuah mal bernama
Morieta. Namanya window shopping ya
kami jalan-jalan tanpa arah dan tujuan jelas. Kegiatan ini sering kami lakukan
sepulang kerja. Maklum, grup jomblowati gaul yang merasa perlu berolahraga. Berjalan mengelilingi mal selama satu jam
termasuk olah raga juga bagi kami.
Kami melangkah di sepanjang koridor
Morieta yang tidak terlalu lengang sore itu. Sambil melangkah dan menoleh ke
kanan-kiri, kami mengobrol tentang pekerjaan yang cukup padat. Kami
berhenti di depan sebuah butik yang mengkhususkan diri pada gaun malam. Denada menarik tanganku masuk ke butik
itu. Seorang SPG menyambut kami dengan antusias. Teman-temanku mulai menyibak
deretan baju-baju di gantungan. Mereka juga mengamati detil gaun yang dikenakan
manekin. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka kegiatan ini. Tetapi mereka teman
akrabku di kantor. Jadi tidak enak kalau aku menolak ajakannya.
”Gy, yang ini cocok untukmu. Coba gih!” kata Denada seraya menempelkan
sebuah gaun ke badanku.
”Kamu saja yang coba.” kataku mencoba
menolak. Denada mulai dengan
rayuannya.
”Ayolah, Gy. Dicoba saja. Sayang gaun
cantik begini. Lagipula kamu
tidak punya gaun seperti ini. Ingat, besok malam kita diundang Pak Bos makan
malam.” Kata Denada. Teman-teman yang lain turut mengerubungiku dan
mengeluarkan berbagai argumen yang membuatku akhirnya masuk ke ruang ganti. Aku
mencoba baju itu. Terlalu terbuka di bagian dada. Lengan berbentuk mangkuk juga
terasa kurang nyaman di pundak. Entahlah. Mungkin ada yang kurang pas
jahitannya.
”Wow, cantik. Mbak, Egy beli gaun yang
ini. Yang ini saya yang beli.” kata Weny sambil menyerahkan gaunnya ke kasir.
Aku sudah buka mulut akan bicara. Tapi Weny menyikut bahuku agar segera
membayar. Terpaksa aku gesek kartu lagi.
”Nah, selesai beli gaun, kita makan yuk. Gy, sekarang giliran kamu yang traktir
kita.” kata Andini. Aku mengerutkan dahi. Perasaan aku baru saja mentraktir
mereka minggu yang lalu. Kapan giliran Denada dan Weny.
”Lho, aku kan sudah waktu makan siang
kemarin. Kamu tidak ikut sih. Salah sendiri. Weny traktir kita waktu sarapan
hari sebelumnya. Kamu juga belum datang ke kantor. Jadi ditinggal. Kamu belum
beruntung.” kata Denada dengan santai. Kuhela nafas. Kami pindah ke food court. Mereka membuatku mual dengan
menu pilihannya. Sangat beragam, setiap orang pesan paling tidak dua masakan,
dan tentu saja meja kami penuh karenanya. Untuk makan berempat saja aku
menghabiskan hampir seperempat gajiku. Wah, ini sudah keterlaluan. Aku jadi
tidak bisa menikmati makananku. Terlebih, mereka yang pesan macam-macam itu
kemudian tidak menghabiskan makanannya. Alasannya sudah kenyang. Kalau tidak
terlalu lapar kenapa memesan begitu banyak makanan.
”Kalau kamu mau, minta dibungkus saja. Kami
sih, gengsi melakukan itu.” kata Weny sambil mencibirkan bibirnya. Aku terpaku.
Kepalaku terasa mendidih.
”Aku sudah bayar semua. Aku harus segera
pulang. Aku duluan, ya.” kataku cepat.
”Lho, kita kan belum belanja aksesoris. Belum belanja sepatu. Belum beli make up baru. Belum cream bath juga. Kok buru-buru sih. Santai saja, Gy.” kata Denada.
Kugelengkan kepala dan segera berjalan meninggalkan meja itu.
”Lho, Gy. Aku pulangnya bagaimana?” tanya
Weny. Aku berbalik sambil tetap melangkah. Aku hanya mengangkat bahu.
Sampai di kamar kostku, kubuka kemasan
gaun itu. Gaun yang sama sekali tidak kuinginkan. Gaun yang menguras seperempat
bagian yang lain dari gajiku. Aku juga mengamati saldo di layar hp kiriman sms
banking. Minim sekali untuk membayar semua tagihanku. Bisa terpaksa puasa sebulan
penuh.
Kurebahkan punggung ke atas kasur. Aku
merenungi pertemananku dengan Denada, Weny dan Andini. Mereka bertiga memang
hobi mengikuti mode terbaru. Mereka sangat suka berbelanja. Mereka sangat suka
tampil trendy. Sedangkan aku, baru sekarang aku menyadari betapa selama ini aku
lebih sering menjadi kambing congek mereka. Aku tahu betul acara makan siang
dan sarapan yang tadi dikatakan Denada tidak pernah ada. Di waktu makan siang
itu aku ingat kantor kami mendapat kiriman makanan dari istri Bos yang sedang
syukuran hari ulang tahun. Sedangkan paginya, aku datang lebih awal dari
mereka. Jadi omong kosong kalau mereka tidak mengajakku karena aku terlambat
datang ke kantor. Mereka berbohong agar aku bersedia membayar makanan mereka
yang akhirnya juga disia-siakan itu. Mereka pasti sudah hafal aku tidak bisa
menolak.
Film pendek adegan-adegan belanjaku diputar
kembali dengan cepat. Bagaimana aku terpaksa membeli sepatu berhak 13 cm.
Bagaimana aku membeli panci tekan yang di rumah kos tidak pernah kugunakan.
Bagaimana aku membeli beraneka produk make
up keluaran terbaru. Satu hal lagi, sepatu berhak 13 cm itu sekarang ada
pada Weny. Pinjam, istilahnya. Tetapi tiap kali kutagih, dia menunda dengan
berbagai alasan. Produk make up-ku
juga jarang kupakai. Yang sering menghabiskan malah mereka bertiga. Begitupun
beraneka baju yang kubeli atas usulan mereka. Hampir 90% telah menjadi penghuni
lemari mereka. Aku jadi geram dan jengkel dengan diriku sendiri. Kenapa selama
ini aku tidak menyadarinya. Aku begitu bodoh.
Mulai saat ini, aku harus berubah. Aku
harus tegas. Dengan penuh kesungguhan aku berdoa kepada Tuhan agar jika
teman-temanku itu tidak baik bagiku, maka mohon dijauhkan. Jika mereka baik
bagiku, tolong jadikan mereka teman-teman setia.
Doaku terjawab esok malamnya dalam acara
makan malam. Mereka menjauhiku. Nampak jelas mereka kasak-kusuk membicarakanku.
Nadanya jelas negatif. Ya sudah, aku malah bersyukur jauh dengan mereka. Aku
bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa melepaskan diri dari peran menjadi
boneka. Mereka dan aku adalah pertemanan yang tidak tepat.
(tulisan ini telah dibukukan bersama karya-karya penulis lain dalam Shopaholic Diary, yang diterbitkan AE Publishing)