Kelompok Kab Malang 166 B - Bersama Pengajar Praktik |
Modul 1.4 melengkapi potongan puzzle yang sebelumnya masih menjadi tanda tanya bagi saya. Sebagai guru, saya merasa ada yang kurang dari interaksi saya dengan siswa. Ini salah satu alasan saya mengikuti seleksi Calon Guru Penggerak. Hal ini terasa semakin dalam ketika pindah ke lingkungan baru dengan budaya dan situasi yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah sebelumnya.
Selama dua bulan ini saya mempelajari modul 1 yang terdiri dari 4 bagian, yaitu Modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hajar Dewantara, Modul 1.2 Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak, Modul 1.3 Visi Guru Penggerak, dan Modul 1.4 Budaya Positif. Dalam proses tersebut, saya menyadari bahwa sebagai guru saya selama ini memandang peserta didik sebagai sosok yang sama, padahal mereka masing-masing memiliki keunikan yang membutuhkan penanganan berbeda. Ibarat diri ini petani padi, maka peserta didik adalah bibit padi yang berbeda-beda, baik kondisi fisik, kemampuan, dan latar belakangnya (kodrat alam). Petani tidak bisa mengubah kodrat alam bibit, tetapi bisa menyelenggarakan perawatan yang berpihak pada bibit, terus berinovasi, dan merefleksi diri agar ke depannya bisa lebih baik.
Guru Ibarat Petani |
A. Pemikiran Reflektif Terkait Pengalaman Belajar
Materi yang disajikan dalam Modul 1.4 yang meliputi disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi menjawab kebingungan saya tentang apa yang hilang dari interaksi saya dengan sekolah. Berada pada lingkungan yang meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa membuat saya merasa apa yang saya lakukan salah. Namun materi dalam modul ini memberikan saya pandangan dan semangat baru untuk meneruskan dan memperbaiki pola interaksi dengan siswa. Teknik menggiring siswa untuk menyadari kesalahan, mendapatkan solusi, sekaligus belajar menjadi manusia yang lebih baik dari kesalahannya dalam segitiga restitusi, terlihat lebih manusiawi dan memanusiakan. Saya bertekad terus belajar agar bisa menjadi manajer yang baik bagi siswa-siswa saya.
Saat menjalani tahap Mulai Dari Diri Sendiri, dimana kami mempelajari materi secara mandiri, saya merasa sangat bersemangat. Saya sering mendapati bagian-bagian yang begitu menggugah, yang kemudian saya bagikan melalui story WA. Ternyata saya mendapatkan respon-respon positif, yang semoga menjadi inspirasi bagi orang lain. Semoga hal tersebut juga menggugah rekan-rekan guru dalam lingkaran pengaruh saya untuk mengikuti PGP.
Dalam peran sebagai guru, saya berkesempatan menghadirkan pembelajaran yang inovatif dan berpihak pada murid, menjadi sosok yang mandiri, kolaboratif, dan reflektif, sebagaimana nilai-nilai Guru Penggerak. Dalam lingkaran pengaruh yang sudah dipunyai yaitu kelas tempat mengajar, guru bisa memimpin pembelajaran dan mengembangkan diri dan orang lain. Selain itu, saya juga belajar untuk memimpin pengembangan sekolah dan memimpin manajemen sekolah, pada lingkup kecil tersebut. Dalam mengimplementasikan apa yang sudah didapatkan, saya bisa mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran, coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan mengerakkan komunitas praktisi.
Sebelum mempelajari Modul 1.4, saya mengambil posisi kontrol sebagai teman dan sebagian dari posisi kontrol manajer saat berinteraksi dengan siswa. Hal tersebut sudah merupakan aktivitas yang baik, namun setelah mempelajari modul ini saya bertekad akan terus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer. Saya perlu menggali kebutuhan dasar siswa yang ternyata bisa tercermin dari ulah dan ucapannya. Tekad ini memberi saya perasaan bersemangat untuk terus belajar dan berlatih membangun budaya positif. Saya juga terus berusaha berkolaborasi dengan guru lain untuk bersama-sama memberikan pelayanan terbaik bagi siswa. Bila diperlukan dan kompetensi saya mumpuni, saya bisa menjadi coach bagi guru lain.
B. Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Setelah mempelajari modul ini, merefleksi diri, dan berlatih menerapkan pengetahuan yang saya dapatkan, timbul beberapa pertanyaan dalam diri saya. Antara lain:
- Bagaimana membentuk budaya positif pada lingkungan yang meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa?
- Bagaimana menjalin kerjasama dengan rekan sejawat dan orang tua untuk membangun budaya positif yang konsisten dalam lingkungan siswa, setidaknya di sekolah dan di rumah?
- Dapatkah konsep posisi kontrol dilatihkan pada siswa, sehingga mereka bisa menjadi sosok-sosok manajer bagi diri sendiri maupun rekan sebayanya?
Setelah memahami materi ini, saya paham bahwa sangat penting memiliki keyakinan kelas atau sekolah, yang menjadi kompas perilaku bersama. Saat ini poin tersebut belum kami miliki, sehingga saya berencana untuk melakukannya pada awal semester genap. Nantinya keyakinan kelas itu disosialisasikan kepada guru lain maupun orang tua. Bila memungkinkan, diadakan sejenis kegiatan parenting agar orang tua melatih segitiga restitusi dalam menangani ulah anak-anaknya sekaligus memperkenalkan 5 kebutuhan dasar manusia. Saya berencana menyusun strategi melatih siswa menjadi pemegang posisi kontrol manajer bagi teman sebayanya, yang semoga bisa membawa manfaat bagi lingkungan.
Tantangan yang saya hadapi dalam menerapkan budaya positif adalah lingkungan sekolah yang masih meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa. Cara ini memang efektif dalam jangka pendek dan selagi sosok yang ditakuti itu ada. Setelahnya siswa kembali berulah. Namun jelas berat jika saat ini saya langsung memulai di level sekolah. Maka solusi yang bisa dikerjakan saat ini adalah menerapkan budaya positif dari kelas yang saya pegang yang menjadi lingkaran pengaruh saya terlebih dahulu. Semoga nantinya bisa menjadi percontohan bagi kelas yang lain dan kemudian pengaruh baiknya menyebar.
C. Membuat Keterhubungan
Bercermin dari pengalaman masa lalu saat masih menjadi siswa TK, dimana ada guru yang mencubit karena saya kurang semangat bertepuk tangan, saya memandang hukuman sebagai hal negatif. Apa yang dilakukan guru tersebut terlihat kecil, tetapi saya bisa mengingatnya sampai sekarang. Selain itu, saya pernah mengajar di sekolah lain, dimana anak-anaknya bercerita kepada saya mereka senang membuat marah guru tertentu. Marahnya guru tersebut membuat mereka bisa keluar kelas dan tidak perlu mengikuti pelajaran sebab demikianlah hukuman saat beliau marah.
Hal-hal di atas memberi saya keyakinan untuk tidak melakukan hal serupa di masa depan. Menerapkan disiplin positif dan menjadikannya budaya baru di sekolah saat ini jelas menantang. Saya memilih memulainya dari kelas yang merupakan lingkaran pengaruh saya. Anak-anak yang merasa nyaman, akrab berinteraksi dengan saya dan temannya, serta sama-sama berpikir untuk maju bersama adalah semangat. Hal baik seperti ini akan saya teruskan. Misalnya bagian dari segitiga restitusi dimana saat siswa melakukan tindakan yang salah, saya tidak menyalahkan, tetapi lebih fokus pada alasan dan bagaimana dia berinisiatif menyelesaikan masalah. Ternyata hal ini membuat siswa tidak takut membuka diri dan setelahnya menampakkan perilaku yang lebih baik.
Langkah nyata yang sudah saya ambil adalah menghadirkan inovasi pembelajaran. Bila selama ini lebih banyak menggunakan ceramah, diskusi, presentasi, dan praktikum, maka saya mengajak siswa bermain. Permainan kami adalah Taboo Game, yang saya lakukan baik di kelas Bahasa Inggris, IPAS, maupun P5. Taboo Game diawali dengan menggunakan soal yang saya buatkan. Namun setelah siswa mahir, mereka saya persilahkan membuat soal sendiri untuk digunakan bersama. Taboo Game dapat menghadirkan suasana bahagia, mengetahui tingkat serapan peserta didik atas materi yang sudah dipelajari, sekaligus melatih peserta didik mandiri, berkolaborasi, memimpin, dan percaya diri. Selain itu, saya berencana pada semester depan menghadirkan Tes Diagnostik pada awal masuk sekolah, agar ke depannya dapat menghadirkan cara belajar yang lebih tepat sasaran.
Alat Bermain Taboo Game IPAS Hasil Karya Siswa |
Taboo Game Mapel IPAS |
Saya juga menggerakkan Perpustakaan Sekolah “Adhista Library” dimana saya menjadi Kepala. Kami telah menyusun program dan menjalankannya tahap demi tahap. Kegiatan yang sudah terlaksana adalah seleksi buku lama, dimana koleksi yang sudah tidak digunakan dimasukkan gudang. Selain itu kami melaksanakan workshop Otomasi Perpustakaan. Saat ini Otomasi sedang berjalan dalam tahap entry data buku, selagi menantikan tambahan komputer dan perlengkapan pendukungnya. Kami juga melaksanakan pendataan dan pelabelan buku non teks yang selama ini hanya disimpan dalam lemari. Program lain yang sudah berjalan adalah pembuatan media sosial perpustakaan yang diisi dengan kegiatan di Perpustakaan, pameran koleksi buku, dan hal-hal lain yang sesuai dengan visi Adhista Library: “SMKN 1 Pujon Bertabur Bintang Literasi Yang Bernalar Kritis dan Kreatif”.
Pemakaian Perpustakaan Untuk Kegiatan Presentasi Ekskul Pramuka |
Kami membentuk komunitas praktisi CETAR BERLIAN (Cerdas Elaboratif Terampil Adaptif Religius Berwawasan Lingkungan) bersama CGP di kelompok 166 B. Komunitas ini fokus pada kegiatan pengelolaan sampah di lingkungan sekolah masing-masing. Di SMK Negeri 1 Pujon, kami menginisiasi program percontohan pengelolaan sampah di kelas tempat mengajar. Saya mengajak siswa kelas X APHP. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah polling untuk mengetahui pengetahuan dasar siswa dan ide-ide yang mungkin sudah mereka miliki. Selanjutnya kami melakukan edukasi pengelolaan sampah di sekolah bekerja sama dengan Kertabumi Recycling Center, Jawa Barat. Ke depannya kami akan membuat produk kreatif dari sampah sebagai tugas liburan. Nanti saat masuk semester genap, kami akan menyusun program pengelolaan sampah di kelas X APHP, antara lain pengadaan refill air minum untuk mengurangi sampah botol plastik, pemilahan sampah, dan inisiasi bank sampah.
Suasana Edukasi Pengelolaan Sampah Sekolah Bersama Kertabumi Recycling Center |
Program pengelolaan sampah tersebut akan berjalan beriringan dengan penyusunan keyakinan kelas dan menjalankannya. Keyakinan kelas ini nampaknya perlu disosialisasikan baik kepada guru pengajar yang lain maupun kepada orang tua, agar bisa diajak bekerja sama menjalankannya. Saya sudah memulai dengan latihan mengaplikasikan Segitiga Restitusi dalam menangani siswa pelaku tindakan yang salah dan meminta pendapat siswa sasaran terkait metode tersebut. Ternyata mereka nyaman menyelesaikan masalah dengan segitiga restitusi, bila dibandingkan dengan hukuman atau konsekuensi.
Semua upaya ini bermuara untuk terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yang mungkin setiap peserta didik miliki, namun belum terpenuhi di rumah (keluarga) maupun di lingkungannya yang lain. Diharapkan dengan semua upaya tersebut, peserta didik merasa nyaman di sekolah, bisa belajar dengan baik, dan kodrat alamnya bisa dimaksimalkan untuk mencapai manusia merdeka dan siswa yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.
Konsep yang disampaikan dalam Modul 1.4 sudah lengkap dan memberikan pencerahan bagi saya. Namun saya perlu lebih banyak lagi belajar tentang teknik-teknik penerapan pembentukan budaya posisif di lingkungan kelas maupun sekolah, termasuk bagaimana Guru Penggerak berteguh hati dalam menjalankan gerakannya. Hal-hal tersebut semoga bisa diperoleh dengan adanya forum diskusi CGP maupun best practice yang dibagikan rekan-rekan guru yang lain. Selain itu, saya tertarik dengan konsep yang ditawarkan pakar seperti Ayah Edy, seri Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib, dan “Alhamdulillah Anakku Nakal” dari Miftahul Jinan. Tidak menutup kemungkinan kelak akan saya temukan sumber-sumber lain yang menarik dan aplikatif.