Judul di atas memang terinspirasi dari salah satu judul lagunya Bang Iwan: Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu. Hal ini karena Anan (sebut saja begitu) juga penggemar Bang Iwan.
Saya mengenal Anan ketika ia masuk kelas 7, sebagai murid pindahan dari sekolah lain. Bukan rahasia umum kalau kepindahan seperti ini penyebabnya biasanya dua hal: anaknya tidak bisa menyesuaikan diri atau anak ini memang bermasalah. Anan masuk kedua kelompok.
Mengetahui hal ini, saya tidak kaget lagi ketika Anan berulah. Terlambat, berkelahi dan bolos sudah sering sekali dilakukan di kelas 7 dan 8.
Suatu hari, di kelas 8, Anan terlibat perkelahian dengan teman satu sekolah. Perkelahian ini berkembang menjadi masal. Saat itu saya mulai melihat 'sesuatu' dalam dirinya.
Di kelas saya (Matematika), biasanya Anan pasif dan memilih duduk di belakang. Nilainya standar bawah saja. Siang itu, ketika masuk kelas, saya melihat ada gitar bersandar di tembok. Ketika saya tanya, anak-anak sempat saling lempar tanggung jawab. Hal ini mungkin karena beberapa guru tidak senang ada benda semacam ini di kelas, karena dikhawatirkan mengganggu. Saya melihat ini sebuah peluang emas, maka dengan lunak saya katakan saya tidak akan marah dengan adanya benda itu. Lalu Anan mengacungkan tangan.
"Nah, berarti kita bisa memulai pelajaran hari ini dengan penampilan Anan. Apakah kamu bersedia?" Anan kaget. Nampaknya suatu hal yang sangat asing ketika seorang guru Matematika memberi kesempatan siswa tampil main gitar di depan kelasnya. Sebagai tanda serius, saya meminta anak lain menyiapkan kursi untuk Anan tampil. Maka di siang nan terik itu kami semua mengetahui bahwa kami memiliki calon musisi di kelas kami. Tidak hanya membawakan lagu Bang Iwan, Anan juga membawakan lagu yang dia ciptakan sendiri. Luar biasa. Ternyata selama ini saya tidak cukup mengenal anak-anak saya.
Sejak saat itu, Anan mau mendekat. Ia mulai terbuka tentang keluarganya. Bagaimana ia setiap hari bangun jam 2 pagi untuk membantu ibunya berjualan di pasar. Rupanya ini alasan mengapa Anan sering terlambat. Ia juga sering nampak kelelahan atau mengantuk di kelas. Dan ... bagaimana sulitnya ia merasa percaya diri.
Bagi orang lain, percaya diri bukanlah sebuah masalah. Tetapi Anan mengalami krisis yang cukup parah. Dengan latar belakang keluarga yang berantakan, dengan penampilan yang dirasa biasa saja, dengan otak yang juga merasa biasa saja. Pertanyaan yang dia ajukan adalah:
"Dapatkah katak kecil mencapai puncak menara?"
Maka agenda kami berikutnya adalah membuat Anan percaya diri dan yakin bahwa dia mampu. Terlebih, Anan punya nilai plus dengan kemampuannya bermusik. Agenda saya yang lain adalah mencarikan event agar Anan bisa tampil bernyanyi.
Kesempatan itu datang pada sebuah kegiatan sejenis Darma Wanita. Anan dan teman-temannya berlatih untuk tampil. Sayangnya di hari H, anggota yang menjadi kunci penampilan berhalangan hadir. Anan langsung down. Lalu saya nasihatkan padanya: "Seniman sejati itu bukan mereka yang hanya bisa tampil dalam kondisi sangat ideal. Seniman sejati adalah mereka yang bisa tampil maksimal apapun kondisinya."
Mendapatkan nasihat itu, Anan bangkit dan hari itu sukses tampil di hadapan ibu-ibu.
Agenda ini terus berlanjut sampai kelas 9. Kami menetapkan target dia lulus SMP dengan nilai baik. Di pelajaran Matematika, Anan mentarget nilai 8. Padahal pada try out pertama, Anan mendapatkan nilai 30.
Saya sangat mengagumi semangatnya. Ia datang ke rumah hampir 4 sore setiap minggunya untuk belajar. Ia semakin bersemangat ketika pada try out 2 ia mendapatkan nilai 5. Nilai ini terus meningkat dan puncaknya, Anan lulus SMP dengan UN Matematika 7,75.
Ia cukup kecewa dengan miss 1 soal saja untuk mencapai targetnya. Tetapi setelah membandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya, Anan sadar bahwa pencapaiannya sudah luar biasa. Maka dengan mantap ia mengikuti tes sekolah lanjutan.
Suatu sore di masa MOS SMK, Anan datang ke rumah dan berterima kasih telah mengisi kekosongan dirinya.
"Saya selalu ingat nasihat ibu tentang menjadi diri sendiri. Tentang seniman sejati. Tentang menjadi laki-laki yang baik. Tentang akan ada jalan bila kita ada kemauan."
Saya begitu terharu. Saya hanya bisa menepuk bahunya sambil berkata:
"Saya yakin kamu bisa. Suatu saat kamu akan bisa mencapai cita-citamu menjadi dosen. Saat ini, kamu sudah buktikan dengan bersikap tuli pada mereka yang meragukan dan melemahkanmu, kamu telah berhasil mencapai puncak menara pertamamu. Kamu hanya harus melakukan hal yang sama untuk mendaki menara-menara yang lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar