Sejak masih ingusan, setiap menjelang
Subuh saya dibangunkan oleh aroma kasih dari mulut mama. Jika saya sedang fit,
maka dengan membaui aroma panggilan sayang itu saya sudah bisa langsung
bangkit. Tetapi saat sedang tidak fit, maka tidak hanya berkali-kali aroma
panggilan sayang yang nadanya semakin tinggi, tetapi dilengkapi dengan gempa
kecil, bahkan gerimis lokal.
Saat pulang sekolah, sekitar jam
2 siang, saya disambut pelukan disertai ciuman beraroma yang sampai sekarang
hanya milik mama. Aroma itu terus menyertai saya makan siang, istirahat, bahkan
saat bersiap untuk mengaji, dan berangkat ke tempat les. Sepertinya saya juga
masih mendapati aroma serupa menjelang keberangkatan berjamaah Maghrib. Aroma
itu menghilang saat pulang selepas Isya dan menjelang tidur.
Semakin besar, saya makin tidak bergantung
pada aroma panggilan sayang. Saya telah mendapatkan pola bangun yang baik,
yaitu ketika alarm dalam kepala saya berbunyi karena syaraf muda di hidung saya
membaui aroma kasih yang khas dari dapur. Saya juga telah paham bahwa aroma khas
itu timbul dari serbuk hitam pahit, yang diseduh dengan air panas. Bila dinikmati
bersama papa sebelum matahari terang, mama menambahkan gula. Tetapi di sisa
waktu minuman ini dinikmati dari paduan dua bahan saja.
“Mengapa mama minum begitu banyak
kopi?” tanya saya suatu hari.
Mama tidak bersegera menjawab.
Tetapi berlama-lama menatap kedua mata empat belas tahun milik sulungnya. Saya
tidak paham apa yang beliau cari dari pasangan mata lelaki kecil ini. Saya
makin tidak paham ketika mama tersenyum.
“Sebenarnya tidak banyak. Mama
tahu takaran maksimal kafein yang bisa ditoleransi tubuh mama, juga berapa
jumlah wajar gula. Mama perlu kopi untuk membuat mama tetap bangun dan bisa
mengurus kalian berempat sebaik-baiknya.”
“Apakah kami berempat sangat
merepotkan sampai mama perlu energi dan waktu begitu banyak?”
Mama tersenyum sambil menghela
nafas.
“Saat ini, Dean sudah bisa bangun
sendiri, cuci baju sendiri, merapikan kamar sendiri, bahkan bisa bantu mama
bersih-bersih rumah. Tetapi ketiga adikmu? Chica baru berhasil rutin merapikan
tempat tidurnya dan bangun pagi. Anne baru bisa rutin mandiri mandi dan makan. Dedek
belum mandiri semua.”
Aku 14 tahun, Chica 10 tahun,
Anne 8 tahun, dan Dedek 3 tahun. Mama sukses membuatku bungkam untuk sibuk
dengan aroma berpikir.
*****
“Mas, sekarang giliran mas jagain
mama. Dedek mo kuliah.” Suara Dedek terdengar panik di telingaku.
“Ya, baiklah. Kamu tinggal saja
dulu. Setengah jam lagi mas tiba.” Jawabku.
Tanpa salam Dedek menutup kontak.
Kulanjutkan konsentrasi pada
kemudi dan jalanan di depanku. Rumah sakit tinggal beberapa belokan lagi.
Sepuluh menit seharusnya sudah lebih dari cukup. Dua puluh menit sisanya akan
kugunakan untuk perjalanan dari area parkir menuju ruang perawatan mama.
Mungkin masih akan ada waktu untuk mampir ke kantin rumah sakit dan mencecap
secangkir kopi yang tak sempat kuseduh tadi pagi.
Tiba di kantin, antrian kios kopi
menggila. Rupanya pagi yang suram ini membuat banyak orang membutuhkan asupan
kafein. Aku bukan jenis orang yang adiksi kafein. Hanya merasa hariku kurang
lengkap tanpa dimulai dengan secangkir kopi hitam dan panas. Aku masuk antrian.
Beraneka rupa para pengantri ini. Ada yang berdiri sambil sibuk menelepon soal
pengiriman barang. Ada yang sibuk berputar-putar sambil mengarahkan layar
HPnya. Mungkin tengah bervideo call
dengan seseorang yang sangat perlu memastikan kondisi lingkungan. Ada yang
terus menerus memelototi layar, mungkin sedang menangkap monster. Ada pria
tinggi besar tepat di depanku yang terus menerus menguap dan mengucek matanya.
Tengah berada pada urutan ke sepuluh,
seorang bocah menghampiri pria itu.
“Bapak, ayo cepat. Ibu sesak
lagi.” Kata si bocah sambil menarik-narik tangan orang yang disebutnya bapak.
Pria itu sejenak nampak menimbang-nimbang antara menghilangkan penat dan kuyu
wajahnya melalui asupan kafein, dengan bersegera mendatangi istrinya.
“Kan masih ada mbak Darti.
Kemarin sesak tidak lama, terus baik lagi. Bapak beli kopi sebentar saja.” Kata
si Bapak yang jelas nampak mengantuk dan lelah luar biasa. Si bocah menatap si
bapak dengan tatapan nanar. Lalu mengangguk dan segera berlari pergi.
Antrian terus maju. Saat aku
berada pada urutan ke lima, bocah itu datang lagi dengan menangis. Ia tidak
bisa bicara, hanya menarik tangan Bapaknya. Si bapak menatap anaknya, lalu
segera berlari sambil mengusap mata. Aku terpaku. Apa yang terjadi?
“Istrinya dirawat di sebelah adik
saya. Kanker paru-paru katanya. Mungkin sudah tidak bisa bertahan.” Aroma
kasak-kusuk di sekitarku.
Aku terpaku. Aroma berpikir dan
mengingat mama mendadak memasuki kepalaku.
“Diminum di sini atau dibawa?”
tanya petugas kantin. Kuhela nafas berat. Aroma mengingat mama kian menguat.
“Dua. Bungkus.” Ucapku pada
petugas kantin.
Tidak sampai lima menit, aku
telah melangkah menuju kamar mama dengan membawa dua gelas bertutup berisi kopi
hitam panas. Aroma sedap beradu dengan aroma obat dan karbol. Aroma rindu
beradu dengan aroma takut dan khawatir.
“Mama.” panggilku pelan sambil
membuka pintu.
Mama mengalihkan pandangan dari
jendela kaca. Tangan beliau terulur menyambutku.
“Dean.” Bisik mama. Kupeluk leher
mama sambil mencium pipi beliau.
“Bagaimana pagi ini, Mama?”
tanyaku.
Mama tersenyum.
“Mama makin sehat. Mengapa masih
dibiarkan di sini.”
“Tekanan darah mama belum
stabil.”
“Dean, mama bosan. Jika mama
bosan, mama akan memikirkan atau mengkhawatirkan banyak hal. Jika khawatir,
tekanan darah naik. Mama harus bagaimana?”
Kuusap punggung mama.
“Apa yang bisa Dean lakukan agar
mama tidak khawatir?”
“Beri jaminan pada dokter bahwa
mama akan tenang di rumah, sehingga tekanan darah mama akan turun dan stabil.”
Aku menatap mama.
“Mama tahu bukan begitu caranya.
Mama bukan tahanan, tidak perlu jaminan. Pertanyaan Dean, apa yang bisa Dean
lakukan agar mama tidak khawatir?”
Mama menatap jendela kaca lagi.
“Mama tahu kalian terpaksa
meninggalkan semua aktivitas, gara-gara mama harus dirawat di sini. Dedek tadi
marah-marah karena Dean terlambat datang jaga. Chica selalu terburu-buru pergi karena
khawatir ASInya terkontaminasi aroma jahat rumah sakit ini. Anne enggan datang
karena tidak tahan dengan hiruk pikuk rumah sakit. Mama khawatir belum menjadi
mama yang baik untuk kalian.”
“Apa hubungannya, Mama?” tanyaku.
Mama langsung menoleh menatapku.
“Tidakkah kamu melihat bahwa mama
belum berhasil mendidik kalian bagaimana bersikap saat orang tua kalian yang
sendirian itu sakit dan perlu perawatan medis?”
Aku terpaku.
Mama menarik selimut dan
berbaring miring ke arah tembok. Membelakangiku. Bahu mama berguncang.
Aku menatap dua gelas kertas di
atas meja. Aroma berpikir masih menguar, tetapi aroma kasih sayang mulai dingin dan berangsur hilang.
*****
“Apalagi, sih, Mas? Aku sudah
siap menanggung 50% biaya perawatan mama. Kurang apa?”
“Aku mau kita malam ini berkumpul
jam 7, di rumah. Tidak ada alasan. Peras ASImu banyak-banyak. Kasih Bebi ke
papanya. Kamu datang sendiri ke rumah.”
Kututup kontak. Terus kulakukan
reject jika Chica berusaha memanggil.
“Anne sedang banyak kerjaan,
Mas.”
“Tidak ada alasan. Jam 7, di
rumah. Tepat waktu. Sendirian.” Kataku lalu menutup kontak.
Dedek menghela nafas berat mendapatiku
setengah mengancam kedua kakak perempuannya.
Sementara aku menghirup aroma
berpikir dari gelasku. Masih panas. Kuseduh sendiri di rumah mama. Di rumah
sakit, istriku berjanji menunggui mama sampai besok pagi. Si kembar putra kami
terlelap di atas kasur neneknya.
Sampai senja lewat, aku masih
membaui aroma berpikir.
*****
“Mama baik-baik saja, kok, Mas.
Jika sampai besok pagi stabil begini, siangnya dokter menjamin mama boleh
berkemas.” Kata istriku melalui telepon.
“Terima kasih, Sayang. Aku tidak
tahu harus bagaimana tanpamu.”
“Ih, si Mas. Sun sayang buat si
kembar ya.”
“Oke. I love you, too.”
Istriku masih tertawa sambil
menutup sambungan telepon. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Jam 7
kurang 25.
Kudengar suara mobil di halaman. Anne.
Diantar pacarnya. Sejenak mereka berbicara serius, sebelum lelaki tinggi hati
itu menekan gas dan melaju. Anne menggigit bibir sambil melangkah masuk rumah.
“Sebaiknya ini penting. Sepenting
aku meninggalkan Adam dan kantor kami. Padahal sedang banyak permintaan ini.”
Kata Anne sambil meraih cangkir dan toples kopi.
Dengan kecepatan fantastis, satu
menit kemudian Anne sudah duduk, dan menikmati aroma berkarya. Sesekali ujung
jari telunjuknya menggores-gores layar HP. Ditatap. Mencecap kopi. Dihapus. Gores
lagi. Ditatap. Hapus. Menyeruput kopi dari sendok. Menggores lagi. Simpan.
Tersenyum. Melamun lagi. Menghirup aroma nikmat. Menggores lagi. Ah, seniman.
“Assalamu’alaikum.” Teriakan
Chica mengguncang rumah. Diikuti langkah-langkah tergesa dan kibasan hijab ke
belakang pundak. Bahu kanannya digantungi tas branded. Bahu kirinya menenteng tas peralatan pompa ASI. Semua tas
ditaruh di meja. Si empunya mendekati meja kopi. Yang ini perlu waktu hampir
sepuluh menit untuk mendapatkan mahakarya capucino dengan lukisan wajahnya
sendiri. Tak lama, Dedek datang dengan membawa gelas ukuran setengah liter
berisi kopi saring hitam pekat. Aku sendiri meletakkan cangkir kopi susu.
Kami duduk melingkari meja makan,
menghadap kopi masing-masing.
Tepat jam 7.
“Terima kasih kalian datang. Mas
harap, kita semua bersikap terbuka dan legowo dengan apapun yang akan kita
bahas.”
“Buruan, Mas. Time is money.” Kata Anne.
“Yeah, I know you’ll say that. Yang mau mas bahas ini tentang mama.”
“Chica sudah janji menanggung
50%. Mau cash sekarang?” tanya Chica sambil meraih tas brandednya.
“No. No. No. Will you please listen?” tanyaku gusar.
Chica menyandarkan punggung
sambil angkat tangan.
“Ini bukan tentang uang. Sama
sekali tidak. Tanpa bantuan keuangan dari kita, mama punya cukup tabungan untuk
mandiri membiayai perawatan kesehatan beliau. Tetapi ini tentang mama.”
Kuedarkan pandangan pada ketiga audience-ku. Mereka masih menatapku
penuh.
“Mama, membutuhkan perhatian
kita. Kehadiran kita. Keberadaan kita bersama dengan beliau. Utuh. Tidak
dibayangi kesibukan. Tanpa ketakutan tertular. Tanpa maksud apa-apa. Tulus.
Penuh kasih. Tidak hanya sekedar penggugur kewajiban sebagai anak kepada orang
tuanya.”
“Mama selalu mengatakan, jika
Dedek ada kuliah, mama ditinggal saja.” Dedek membela diri.
“Mama pasti tahu Anne tidak betah
dengan bau rumah sakit.”
Kutatap mata Chica. Berharap dia
tidak ikut membela diri.
“Chica masih menyusui, Mas. Tiap
satu jam harus memerah ASI. Tidak ada ruang menyusui steril di rumah sakit itu.
Siapa bisa menjamin ASI yang Chica peras di sana tidak terkontaminasi?”
Kuhela nafas. Aku tahu
adik-adikku akan berkata sedemikian. Aku bangkit dan menuju lemari penyimpanan
alat makan. Kuambil sepasang cangkir keramik. Ada tulisan nama mama di satu
cangkir dan nama papa pada cangkir pasangannya.
“Kalian masih ingat ini?”
tanyaku.
Sejurus mereka berdiam, lalu
mengangguk.
“Itu hadiah ulang tahun
pernikahan perak mama dan papa. Hasil kita menabung bersama sebulan penuh.”
Kata Anne. Kuanggukkan kepala.
“Kamu sudah bersiap menikah,
Anne. Dan kamu sedang menjalani pernikahan, Ca. Kupikir kalian bisa
membayangkan bagaimana rasanya saat pasangan tempat kita mengikat janji setia, meninggalkan
kita untuk selamanya?” tanyaku.
Chica dan Anne berdiam menatap
sepasang cangkir itu.
“Pernahkah kalian mengamati bahwa
sejak papa meninggal lima tahun yang lalu, mama masih minum kopi dari cangkir
ini. Tetapi mama minum kopi pahit. Pernahkah kalian bertanya?”
“Dari dulu mama minum kopi pahit,
Mas.” Kata Dedek.
“Tidak, Dek. Saat meminumnya
bersama papa di pagi hari, selalu kopi manis.” Kata Chica.
Kuanggukkan kepala. Dedek
mengangkat tangannya.
“Lalu?”
“Sepeninggal papa, mama kesepian.
Mama merasa kosong. Terlebih, dengan alasan kita mampu membiayai hidup beliau,
kita melarang beliau berkarya. Sayangnya kita berempat lupa. Kita ada. Tetapi kita tidak benar-benar ada untuk
mama. Kita tidak berkisah dengan mama. Kita tidak menikmati waktu bersama
beliau. Ini seperti membuat kopi, tetapi tidak bisa menikmatinya karena mata
kita buta, hidung kita buntu, kulit kita mati rasa, dan lidah kita tidak
berfungsi.”
Chica, Anne, dan Dedek terdiam.
“Mas tahu mas bukan kakak yang
bisa menjadi teladan sempurna. Tetapi kita belum terlambat. Kita masih diberi
kesempatan menjadi anak yang berbakti. Kita bisa membuat mama berhenti merasa
tidak berguna, khawatir, dan gagal mendidik putra-putrinya. Jika mama tenang,
kesehatan beliau juga akan baik.”
Dedek menghela nafas. Chica dan
Anne menyusut hidung. Tetes air melewati pipi mereka dan jatuh ke taplak meja.
Mataku penuh.
*****
Sehari kemudian
“Nenek! Nenek!” teriakan si
kembar membahana mengisi rumah. Mereka menyambut neneknya yang baru turun dari
mobil. Yang dipanggil segera meletakkan tas tangan dan berlutut menyambut
cucu-cucu. Beliau memeluk dan mencium pipi bocah-bocah 4 tahun itu.
Usai ritual cium tangan dan pipi
dengan semua anaknya, mama berdiri menatap garasi rumah yang telah kami
modifikasi. Mama tersenyum seraya merangkul pundak Dedek dan Anne.
“Jadi, kalian ingin mama membagi
kasih untuk semua orang?” tanya mama.
“Bagi kami, di dunia ini tidak
ada kopi seenak Kopi Mama. Tidak ada kasih sehangat kasih mama. Jika tidak mau
berbagi disebut pelit, maka kami tidak pelit membagi aroma kasih mama dengan
orang lain.” Kata Chica.
Mama tersenyum haru.
Lima menit kemudian aroma kasih
mengisi udara di kafe Kopi Mama. Mamaku beraksi dengan hal yang sangat beliau
sukai. Kali ini tidak akan hanya untuk kami, tetapi juga akan untuk orang lain.
Mama akan memiliki kesibukan baru memberikan petunjuk bagi dua pegawai yang
meracik kopi. Mungkin akan butuh penyesuaian dan alat-alat baru sesuai
keinginan mama. Tetapi setidaknya modifikasi ini akan membuka pintu bagi terbaginya
aroma kasih bila dibutuhkan orang lain.
Tembok utama di belakang meja
racik masih kosong. Kupikir, akan kutuliskan “Kopi Mama, aroma kasih untuk
semua generasi.”
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar