Waktu
itu, status saya masih calon menantu. Tentu saja sangat jarang sekali
berkunjung ke rumah yang sekarang juga menjadi salah satu rumah saya. Lokasi
rumah kedua ini letaknya sekitar 45 menit perjalanan naik motor dengan
kecepatan normal dari rumah orang tua kandung saya.
Suatu
hari, ketika sedang menghabiskan weekend
di rumah orang tua, ada missed call dari
nomor telepon rumah calon mertua. Ketika saya telepon balik, calon adik ipar
yang mengangkat.
“Tadi
nelepon ke HPku?” tanya saya.
“Enggak
tuh. Ini aja aku baru masuk rumah. Bapak-Ibu ke luar kota.”
Nah
lho. Lalu siapa yang membuat panggilan tadi?
Kejadian
ini masih beberapa kali menjadi topik pembicaraan kami, bahkan setelah 10 tahun
menjadi bagian dari keluarga itu.
Sampai
sekarang, tetap tidak ada penjelasan logis. Yang ada hanya penejelasan bahwa
tidak hanya keluarga kami tinggal dalam bangunan itu. Selagi keberadaannya
tidak mengganggu, ya biarlah.
Toh,
dengan panggilan tidak jelas waktu itu, saya jadi tahu bahwa calon adik ipar
saya sendirian di rumah. Walau tidak bisa menemani, tetapi setidaknya bisa
menyemangati dan mengingatkan agar dia berhati-hati.
Telepon
itu sendiri, memang masih menggunakan telepon jadul. Tetapi masih berfungsi
dengan baik dan menarik bagi para cucu. Sekarang kan tidak banyak ditemukan
telepon yang tombol panggilnya berupa tombol putar. Suara yang dihasilkan masih
jelas. Deringnya juga dijamin bisa membangunkan seisi rumah.
Meski
usianya sudah uzur, tetapi telepon ini masih dipertahankan. Bukan karena tidak
mampu membeli telepon modern. Tetapi sejarah telepon itu sendiri yang juga
perlu dihargai. Jika memungkinkan, barangkali bisa dipertimbangkan memberinya
sertifikat penghargaan. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar