Rabu, 30 Januari 2013

Pertemanan


PERTEMANAN
Oleh Agustina Dewi Susanti

“Ayo, Gy, kita ke Morieta.” ajak Denada dan Weny seraya menggamit lenganku. Seperti biasa, aku tidak bisa menolak ajakan Denada dan teman-teman untuk window shopping di sebuah mal bernama Morieta. Namanya window shopping ya kami jalan-jalan tanpa arah dan tujuan jelas. Kegiatan ini sering kami lakukan sepulang kerja. Maklum, grup jomblowati gaul yang merasa perlu berolahraga. Berjalan mengelilingi mal selama satu jam termasuk olah raga juga bagi kami.
Kami melangkah di sepanjang koridor Morieta yang tidak terlalu lengang sore itu. Sambil melangkah dan menoleh ke kanan-kiri, kami mengobrol tentang pekerjaan yang cukup padat. Kami berhenti di depan sebuah butik yang mengkhususkan diri pada gaun malam. Denada menarik tanganku masuk ke butik itu. Seorang SPG menyambut kami dengan antusias. Teman-temanku mulai menyibak deretan baju-baju di gantungan. Mereka juga mengamati detil gaun yang dikenakan manekin. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka kegiatan ini. Tetapi mereka teman akrabku di kantor. Jadi tidak enak kalau aku menolak ajakannya.
”Gy, yang ini cocok untukmu. Coba gih!” kata Denada seraya menempelkan sebuah gaun ke badanku.
”Kamu saja yang coba.” kataku mencoba menolak. Denada mulai dengan rayuannya.
”Ayolah, Gy. Dicoba saja. Sayang gaun cantik begini. Lagipula kamu tidak punya gaun seperti ini. Ingat, besok malam kita diundang Pak Bos makan malam.” Kata Denada. Teman-teman yang lain turut mengerubungiku dan mengeluarkan berbagai argumen yang membuatku akhirnya masuk ke ruang ganti. Aku mencoba baju itu. Terlalu terbuka di bagian dada. Lengan berbentuk mangkuk juga terasa kurang nyaman di pundak. Entahlah. Mungkin ada yang kurang pas jahitannya.
”Wow, cantik. Mbak, Egy beli gaun yang ini. Yang ini saya yang beli.” kata Weny sambil menyerahkan gaunnya ke kasir. Aku sudah buka mulut akan bicara. Tapi Weny menyikut bahuku agar segera membayar. Terpaksa aku gesek kartu lagi.
”Nah, selesai beli gaun, kita makan yuk. Gy, sekarang giliran kamu yang traktir kita.” kata Andini. Aku mengerutkan dahi. Perasaan aku baru saja mentraktir mereka minggu yang lalu. Kapan giliran Denada dan Weny.
”Lho, aku kan sudah waktu makan siang kemarin. Kamu tidak ikut sih. Salah sendiri. Weny traktir kita waktu sarapan hari sebelumnya. Kamu juga belum datang ke kantor. Jadi ditinggal. Kamu belum beruntung.” kata Denada dengan santai. Kuhela nafas. Kami pindah ke food court. Mereka membuatku mual dengan menu pilihannya. Sangat beragam, setiap orang pesan paling tidak dua masakan, dan tentu saja meja kami penuh karenanya. Untuk makan berempat saja aku menghabiskan hampir seperempat gajiku. Wah, ini sudah keterlaluan. Aku jadi tidak bisa menikmati makananku. Terlebih, mereka yang pesan macam-macam itu kemudian tidak menghabiskan makanannya. Alasannya sudah kenyang. Kalau tidak terlalu lapar kenapa memesan begitu banyak makanan.
”Kalau kamu mau, minta dibungkus saja. Kami sih, gengsi melakukan itu.” kata Weny sambil mencibirkan bibirnya. Aku terpaku. Kepalaku terasa mendidih.
”Aku sudah bayar semua. Aku harus segera pulang. Aku duluan, ya.” kataku cepat.
”Lho, kita kan belum belanja aksesoris. Belum belanja sepatu. Belum beli make up baru. Belum cream bath juga. Kok buru-buru sih. Santai saja, Gy.” kata Denada. Kugelengkan kepala dan segera berjalan meninggalkan meja itu.
”Lho, Gy. Aku pulangnya bagaimana?” tanya Weny. Aku berbalik sambil tetap melangkah. Aku hanya mengangkat bahu.
Sampai di kamar kostku, kubuka kemasan gaun itu. Gaun yang sama sekali tidak kuinginkan. Gaun yang menguras seperempat bagian yang lain dari gajiku. Aku juga mengamati saldo di layar hp kiriman sms banking. Minim sekali untuk membayar semua tagihanku. Bisa terpaksa puasa sebulan penuh.
Kurebahkan punggung ke atas kasur. Aku merenungi pertemananku dengan Denada, Weny dan Andini. Mereka bertiga memang hobi mengikuti mode terbaru. Mereka sangat suka berbelanja. Mereka sangat suka tampil trendy. Sedangkan aku, baru sekarang aku menyadari betapa selama ini aku lebih sering menjadi kambing congek mereka. Aku tahu betul acara makan siang dan sarapan yang tadi dikatakan Denada tidak pernah ada. Di waktu makan siang itu aku ingat kantor kami mendapat kiriman makanan dari istri Bos yang sedang syukuran hari ulang tahun. Sedangkan paginya, aku datang lebih awal dari mereka. Jadi omong kosong kalau mereka tidak mengajakku karena aku terlambat datang ke kantor. Mereka berbohong agar aku bersedia membayar makanan mereka yang akhirnya juga disia-siakan itu. Mereka pasti sudah hafal aku tidak bisa menolak.
Film pendek adegan-adegan belanjaku diputar kembali dengan cepat. Bagaimana aku terpaksa membeli sepatu berhak 13 cm. Bagaimana aku membeli panci tekan yang di rumah kos tidak pernah kugunakan. Bagaimana aku membeli beraneka produk make up keluaran terbaru. Satu hal lagi, sepatu berhak 13 cm itu sekarang ada pada Weny. Pinjam, istilahnya. Tetapi tiap kali kutagih, dia menunda dengan berbagai alasan. Produk make up-ku juga jarang kupakai. Yang sering menghabiskan malah mereka bertiga. Begitupun beraneka baju yang kubeli atas usulan mereka. Hampir 90% telah menjadi penghuni lemari mereka. Aku jadi geram dan jengkel dengan diriku sendiri. Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya. Aku begitu bodoh.
Mulai saat ini, aku harus berubah. Aku harus tegas. Dengan penuh kesungguhan aku berdoa kepada Tuhan agar jika teman-temanku itu tidak baik bagiku, maka mohon dijauhkan. Jika mereka baik bagiku, tolong jadikan mereka teman-teman setia.
Doaku terjawab esok malamnya dalam acara makan malam. Mereka menjauhiku. Nampak jelas mereka kasak-kusuk membicarakanku. Nadanya jelas negatif. Ya sudah, aku malah bersyukur jauh dengan mereka. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa melepaskan diri dari peran menjadi boneka. Mereka dan aku adalah pertemanan yang tidak tepat.


(tulisan ini telah dibukukan bersama karya-karya penulis lain dalam Shopaholic Diary, yang diterbitkan AE Publishing)