Jumat, 19 Mei 2023

Catatan Calon Guru Penggerak di akhir Mei 2023

Guru Perlu Memiliki Komunitas Yang Mendukung Pengembangan Dirinya

Catatan di sekolah memang seperti tidak ada habisnya. Satu guru dengan 36 murid, bisa jadi masalahnya tidak hanya 37, tetapi bisa sampai dua kali lipat. Nah, salah satu masalah yang saya hadapi adalah kurangnya keterlibatan murid. Syukurlah saya berkesempatan menikmati proses belajar dalam Program Pendidikan Guru Penggerak. Saat ini saya telah tiba pada modul terakhir. Nah, ini catatan saya minggu ini:

1.      Facts (peristiwa)

Tidak terasa, perjalanan sebagai CGP angkatan 7 sudah memasuki (sekitar) pekan ke 25 atau telah berjalan sekitar 6 bulan. Kami sudah masuk ke modul terakhir yaitu modul 3.3 yang berjudul  Pengelolaan Program Yang Berdampak Pada Murid. Setelah sebelumnya belajar tentang kepemimpinan diri dan mengelola asset, sekarang belajar menumbuhkan kepemimpinan pada diri murid. Ada beberapa insight yang menarik bagi saya. Antara lain terkait trisentra pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Sebagai wali kelas, saya menghadapi sekelompok murid yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga. Ada yang berasal dari keluarga “Cemara” yang orang tuanya lengkap dan harmonis, namun ada pula yang tinggal hanya bersama ayah tiri, hanya bersama salah satu orang tua kandung, bahkan ada yang diasuh oleh keluarga, bahkan ada yang kos dan jauh dari orang tua. Saya menyadari besarnya peran lingkungan dalam membentuk anak menjadi pemimpin, setidaknya dalam memimpin dirinya sendiri.

2.      Feelings (perasaan)

Saya mencoba menerapkan teori-teori yang saya dapatkan dalam LMS. Saya berusaha mengatur agar di kelas yang saya ajar, murid mendapatkan sebanyak mungkin kesempatan memberikan peran. Saya mulai dari secara bergiliran murid memimpin doa, senam “Naik Delman”, diskusi dan presentasi individu maupun kelompok, hingga memberikan nilai saat teman-temannya presentasi. Keterlibatan siswa ini ternyata berdampak pada meningkatnya keaktifan mereka dalam pembelajaran. Ketepatan waktu pengumpulan tugas juga meningkat. Saya merasa telah menemukan salah satu bagian yang selama ini masih kurang dari kegiatan belajar yang saya laksanakan.

3.      Findings (pembelajaran)

Kegiatan belajar dengan tambahan keterlibatan dan kepemimpinan murid memberi saya pengetahuan baru bahwa semakin banyak murid terlibat, semakin banyak pula murid memiliki kegiatan belajarnya. Semoga juga akan meningkatkan pula pencapaian mereka dan berdampak baik di masa depannya nanti. Hal baru yang saya dapatkan adalah teknik melibatkan murid, antara lain dengan menanyakan kebutuhan belajar mereka dan memberikan kesempatan berperan dalam berbagai komponan kegiatan belajar.

4.      Future (penerapan)

Saya berencana menyebarkan temuan baru saya ini kepada rekan-rekan guru yang lain. Selain itu, saya perlu menambah lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber dan praktik baik orang lain, agar kegiatan belajar di kelas saya semakin variatif dan bermakna.


Minggu, 14 Mei 2023

Identifikasi Aset dan Kelola untuk Memajukan Pendidikan

Pembicaraan Antar Guru

Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan merupakan sebuah jalan dalam mengawali pengelolaan sekolah yang berpihak kepada murid. Seorang Pemimpin Pembelajaran harus dapat mengidentifikasi asset dan mengelolanya sehingga asset yang ada dapat digunakan secara maksimal untuk memfasilitasi kebutuhan belajar murid. Kemampuan mengidentifikasi dan mengelola asset tidak hanya dapat diimplementasikan di kelas dan seklah, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Pemimpin pembelajaran dapat mengelola asset yang dimiliki sekolah dengan cara tertentu dan dapat dipertanggungjawabkan, yang kebermanfaatannya tidak hanya dapat dinikmati warga sekolah, namun juga warga di sekitar sekolah.

Pada dasarnya ada 7 modal dasar di lingkup dunia pendidikan, yaitu modal manusia, social, politik, agama/budaya, fisik, lingkungan/alam, dan finansial. Ketujuh modal dasar tersebut dapat saja dimiliki sekolah secara tepat dan lengkap, namun bisa pula masih perlu banyak peningkatan. Namun pemimpin pembelajaran yang berpikir untuk memajukan komunitasnya dengan berbasis asset, ia akan menggunakan asset yang ada untuk kemajuan, bukan mengeluhkan apa yang tidak ada. Sebagai contoh, SMP Taman memiliki guru-guru berusia muda, ruang kelas dan pendanaan yang terbatas, jumlah siswa yang sedikit dan berasal dari keluarga kurang mampu, serta alumni yang terjun dalam dunia politik. Kepala sekolah melihat hal ini sebagai peluang, dengan merancang program sekolah berbasis IT. Kepala sekolah menyusun proposal mendapatkan bantuan computer dari pemerintah yang pengajuannya dibantu oleh alumni yang menjadi wakil rakyat. Guru-guru muda dimaksimalkan kemampuannya agar bisa mengajari siswa secara intensif sehingga siswa dapat menghasilkan produk berbasis digital dan belajar sehari-hari dengan metode blended learning.

 Contoh pada paragraph di atas menunjukkan bahwa pemimpin pembelajaran memiliki peran penting dalam mengidentifikasi asset dan mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan belajar murid. Murid yang berasal dari keluarga kurang mampu seringkali minim akses terhadap teknologi. Bila kebutuhan ini dipenuhi, diharapkan semangat belajar dan kemampuan murid meningkat. Belajar dengan computer yang didukung internet memungkinkan pembelajaran dengan diferensiasi konten, proses, dan produk.

          Modul 3.2 menyadarkan saya bahwa sebagai guru masih sering memandang kondisi kelas dan sekolah dari sisi kekurangannya. Setelah belajar mengidentifikasi dan mengelola asset, terlihat bahwa sebenarnya kelas dan sekolah memiliki asset yang jika dikelola dengan baik tetap dapat memaksimalkan pelayanan kepada murid. Perubahan pada diri saya setelah belajar dari modul ini adalah lebih jeli dalam mengidentifikasi asset dan berpikir kreatif untuk mengelolanya dalam pelayanan kepada murid.

Jumat, 14 April 2023

Renungan Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Tentang Pengambilan Keputusan Sebagai Seorang Pemimpin

 


Filosofi Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan Pratap Triloka terdiri dari ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Filosofi ini memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang menerapkan Pratap Triloka akan berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak buahnya, membangun semangat tim, dan memberikan dorongan sesuai kebutuhan yang membuat tim semakin maju.

Selain kemauan menjadikan Pratap Triloka sebagai gaya hidup, nilai-nilai yang tertanam dalam diri seorang Pemimpin, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang digunakannya dalam pengambilan suatu keputusan. Nilai-nilai ini dibentuk sejak kecil dalam keluarga, masyarakat, dan pendidikan yang dilalui. Demikian lamanya nilai-nilai itu ditanamkan, banyak orang kemudian memandang perlakuan dan kebiasaan yang pernah didapatkan sebagai sebuah kebenaran. Akibatnya, dalam memutuskan sesuatu ia bercermin kepada nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Tidak masalah saat nilai-nilai yang dianut seseorang itu sesuai dengan norma dan aturan di masyarakat. Bila terjadi sebaliknya, maka ada banyak friksi yang mungkin timbul.

Hal-hal di atas pernah saya pelajari saat masih mengajar di Yayasan Tamansiswa, namun terasa lebih sebagai teori dan filosofi tingkat tinggi yang tidak membumi.

Alhamdulillah. Tiba juga di modul 3 bagian pertama alias 3.1. Modul ini mengajak CGP mengkaji tentang Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan Seorang Pemimpin. Selain materi, dalam modul ini CGP diajak mengkaji beberapa kasus sebagai bahan mengukur sejauh mana pemahaman atas materi yang telah dipelajari. Selain itu, ada tugas dimana CGP mewawancara beberapa Kepala Sekolah terkait bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan, tantangan, serta pendukungnya. Nah, di sini saya menemukan koneksi antara teori Ketamansiswaan dengan kegiatan belajar di sekolah maupun dalam kehidupan dalam peran diri sebagai pendidik.

Tidak ada hal instan bila berhubungan dengan pengembangan diri. Demikian halnya dengan keterampilan seseorang sebagai pemimpin, termasuk Kepala Sekolah. Pendidikan yang merupakan proses menuntun anak agar mencapai kondisi well being haruslah menjadi tujuan akhir dari segala jenis keputusan yang diambil di sekolah. Kasus-kasus yang timbul di sekolah bisa jadi merupakan pertentangan antara benar dengan salah atau benar dengan benar. Pemimpin yang baik berani mengatakan sesuatu yang benar itu benar dan yang salah memang salah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, sikap tegas itu harus dibarengi dengan kebijaksanaan, sebab seringkali setiap keputusan berimbas kepada siswa, rekan kerja, lembaga, bahkan diri Pemimpin sendiri dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akan lebih baik bila sebuah keputusan bisa menjadi solusi menang-menang bagi dua kepentingan yang berseberangan.

Materi-materi dalam modul ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru bagi CGP, namun juga membuat CGP mengkaji ulang terkait bagaimana menyikapi sebuah kasus. Kasus yang pernah terjadi mungkin telah ditangani dengan keputusan yang benar, namun bila ada solusi yang lebih baik, semoga bila kelak di masa depan timbul kasus serupa akan dapat disikapi dengan lebih baik lagi. Tidak kalah penting, baik sebagai individu maupun Pemimpin, seseorang haruslah memiliki sikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan. Amanah sebagai pemimpin akan dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia, tetapi juga kelak setelah meninggal dunia. Keputusan yang diambil saat ini bisa saja menjadi dasar bagai berbagai keputusan di masa depan sehingga baik atau buruknya dapat berimbas panjang dan luas. Oleh karena itu, sangat penting mempertimbangkan dengan matang agar lembaga tetap kuat dan berumur panjang, menghasilkan lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman bagi perkembangan semua orang menuju lingkungan belajar yang maju.

Pengambilan keputusan ternyata juga berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah diambil. Coaching yang baik tidak menghakimi seseorang, namun malah membantu menemukan kelebihan diri dan menggali alternatif solusi sebuah masalah dari coachee itu sendiri. Dalam pengambilan keputusan, proses coaching dapat membantu coachee dalam mengkaji apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif? Bilakah keputusan yang diambil itu masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan dalam diri atas pengambilan keputusan tersebut? 

Saat guru menghadapi masalah dilema etika, kemampuannya dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosional akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika. Guru yang mampu mengelola dan menyadari aspek sosial emosional lawan bicara atau dirinya sendiri akan lebih mampu menempatkan diri dan menimbang solusi sebuah kasus dari berbagai sudut pandang.

Di kelas, guru seringkali harus mengambil keputusan terkait pembelajaran agar bisa memerdekakan murid serta dapat memfasilitasi potensi murid yang bisa jadi berbeda-beda. Guru dapat mempertimbangkan berbagai factor pendukung dan tantangan untuk mengambil keputusan terkait pelajaran di kelasnya. Bagaimanapun, yang berhadapan langsung dengan murid adalah guru. Guru mengenal kebutuhan murid dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan belajar murid-muridnya dengan keputusan yang tepat terkait pembelajaran. Terkadang, bisa jadi keputusan terkait pembelajaran ini belum tepat atau masih membutuhkan perbaikan di sana-sini. Tidak masalah karena memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Guru bisa terus belajar dan memperbaiki diri serta kualitas pembelajarannya. Jam terbang akan memberi guru banyak pengalaman dan pelajaran, sehingga diharapkan dengan pengembangan diri terus menerus, guru akan semakin baik dari waktu ke waktu.

Saya akan menutup tulisan hari ini dengan sebuah quote:

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best). ~Bob Talbert


Tulisan ini adalah duplikasi dari blog saya yang lain: http://www.agustinadewi.com/2023/04/yu-menggali-lebih-dalam-tentang.html 

Minggu, 26 Maret 2023

Wahai Guru, Keluarlah dari Zona Nyaman

Siswa berkarya perkostuman. Kenapa tidak?

Perjalanan sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) telah mencapai 60-an persen alias sudah nyampe di modul 2 tentang Praktik Pembelajaran Yang Berpihak Kepada Murid. Dalam modul ini, ada 3 sub modul, yaitu modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi, modul 2.2 Pembelajaran Sosial dan Emosi, serta modul 2.3 Coaching. Judul-judul ini saya ringkes, ya. Aslinya lebih panjang dari ini. 
Hari ini, saya akan menuliskan sebuah refleksi agar apapun kesan dan rasa yang saya dapatkan sejauh ini tercatat. Tahu sendiri lah, lewat dikit biasanya juga hilang. Semoga kebermanfaatan dari pengalaman saya tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.  

Pemikiran Reflektif Terkait Pengalaman Belajar

Seperti modul 1, sebelum masuk modul 2 kami juga melakukan pre test terlebih dahulu. Dari pre tes ini, sudah tercium aroma kalau kami akan banyak berkutat di kelas terutama berhubungan dengan pembelajarannya. Benar saja. Mulai dari pembelajaran berdiferensiasi, PSE, dan coaching, semua berhubungan erat dengan murid maupun rekan sejawat. 

Pembelajaran berdiferensiasi merupakan serangkaian upaya memfasilitasi berbagai karakteristik, gaya belajar, kecepatan belajar, dan kemampuan murid. Diferensiasi dapat diaplikasikan dalam konten, proses, maupun produk proses belajar. Saat mempelajari materi ini, saya merasa itu adalah hal baru. Namun setelah diulik, sebenarnya ini seringkali sudah diaplikasikan dalam pembelajaran sehari-hari. Sebagai contoh, ketika guru memberikan materi normal kepada kelas, kemudian untuk anak-anak yang kemampuannya lebih diberikan materi pengayaan, maka guru tersebut sudah menerapkan diferensiasi konten. Diferensiasi proses dilakukan salah satunya dengan memberikan fasilitasi belajar mandiri atau mejadi tutor sebaya bagi murid dengan kemampuan lebih, sedangkan murid dengan kemampuan kurang diberikan bantuan bila perlu. Diferensiasi produk dapat dilakukan dengan memberi kebebasan murid menghasilkan karya akhir sesuai minatnya. 

PSE meliputi serangkaian upaya memunculkan kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab pada diri murid. Tentunya hal ini tidak akan bisa lepas dari keteladanan guru dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Saat belajar materi ini, terasa sekali masih banyaknya kekurangan pada diri. Meskipun dalam pandangan murid maupun rekan, umumnya saya dianggap jenis orang yang penyabar, tidak mudah meledak, dan 'matang'. Itu semata karena Allah menutupi aib saya. Saya yakin tidak ada kata terlambat memulai sesuatu yang baik. Jadi tetaplah tenang, obyektif, dan fokus. Tarik nafas. Berhenti sejenak. Tak perlu grusa-grusu. Mindfulness menjadi way of life, senada sekali dengan isi bukunya Darmawan Aji yang merupakan salah satu koleksi perpustakaan di rumah. 

Coaching berfokus pada bagaimana seorang guru bisa menjadi mitra bagi orang lain, sosok pendengar aktif, sekaligus membantu memunculkan solusi bagi masalah yang dihadapi cochee. Percakapan coaching yang berlangsung dengan penuh keakraban dan atmosfir yang membangun dapat mempererat hubungan antara guru dengan murid maupun antara sesama guru. Situasi seperti ini dapat mengantarkan kemajuan bersama. Latihan coaching yang saya lakukan bersama rekan sesama CGP dan bersama murid memberikan saya pengetahuan baru bahwa ini adalah ilmu dan keterampilan yang akan semakin baik kualitasnya bila sering dilakukan. Saya pikir sudah mulai bisa mengarahkan coachee memunculkan ide-ide solutif, namun tetap saja memerlukan banyak pengetahuan dan latihan agar jam terbang bertambah dan semakin baik. Saya yakin, coaching dapat berguna dalam berbagai bidang. Semakin terampil coaching, kematangan diri dan kompetensi saya akan semakin baik. Jadi diriku, ayo terus berlatih. 

Secara umum, mempelajari modul 2 memberi saya ruang untuk merefleksi apa yang selama ini sudah saya kerjakan, bagian mana yang sudah baik, bagian mana yang memerlukan perbaikan, serta bagaimana manfaat ilmu, rasa, dan pengalaman ini bagi masa depan saya. 

Implementasi

Setelah belajar dan refleksi, pertanyaan besarnya adalah bagaimana mengaplikasikan ilmu yang saya dapat dari modul 2 ini dalam kehidupan di sekolah maupun di rumah, serta agar manfaatnya meluas?

Menurut saya, baik pembelajaran berdiferensiasi, PSE, maupun coaching dapat diaplikasikan di kelas, di sekolah, maupun di rumah. Memang saat baru belajar, materi itu terlihat di awan dan sulit. Namun setelah mengenang semester ganjil yang sudah berlalu, saya baru sadar bahwa ilmu dalam modul ini sudah teraplikasikan. Sebagai contoh, kelas kami merencanakan sebuah kegiatan kejutan untuk wali murid saat pembagian rapot semester ganjil. Setelah rapat kelas, disepakati kegiatan yang akan dilakukan adalah pameran karya daur ulang di ruang kelas. Implementasi pembelajaran berdiferensiasi adalah murid bebas memilih jenis produk yang akan dibuat (diferensiasi produk), serta melaksanakan proyek tersebut individual atau berkelompok (diferensiasi proses). Implementasi PSE sekaligus coaching adalah percakapan saya dengan siswa, baik secara langsung maupun melalui chat WA untuk membantu mengenali potensi dan produk daur ulang yang bisa mereka buat. Meskipun keputusan akhir berada di tangan siswa, tetapi proses itu sendiri sangat membantu saya mengenal mereka dan mereka mengenal dirinya sendiri. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana agar manfaat ilmu ini meluas? Berdasarkan lingkaran pengaruh saya di sekolah ini, saya bisa memulai dari mempraktikkan pembelajaran yang berpihak kepada murid di kelas yang saya ajar, di perpustakaan dimana saya menjadi Kepala, serta pada lingkar pertemanan dekat dengan beberapa guru lain. Jelas dalam prosesnya saya membutuhkan waktu dan banyak energi, namun semoga bila semakin banyak yang memiliki kemampuan coaching, situasi kelas dan sekolah akan semakin nyaman untuk berkembang bersama. 

Ada Apa Antara Pembelajaran Berdiferensiasi, PSE, dan Coaching?

Pendidikan Guru Penggerak (PGP) dan ilmu yang saya dapatkan sejauh ini menjawab dengan baik tujuan awal saya mengikuti PGP. Dulu saya menuliskan: "Sebagai guru, saya merasa masih banyak kekurangan. Mulai dari teknik mengajar yang masih terbatas, hingga kemampuan mengelola kelas dan emosi agar lebih nyaman berinteraksi dengan peserta didik. Saya banyak belajar dari berbagai media, namun jika ada support system yang bisa memfasilitasi, tentunya akan saya ambil. Saya berharap mendapatkan banyak hal baru dengan menjadi Guru Penggerak sehingga bisa menjadi guru yang lebih baik. Untuk mewujudkan motivasi tersebut, saya mendaftarkan diri di GP angkatan 7. Selanjutnya mengalokasikan waktu dan lain-lain agar dapat mengikuti rangkaian kegiatan dengan baik."

Bila sebelum ikut PGP saya mengajar berdasarkan intuisi dan sedikit ilmu dari berbagai media, sekarang saya tahu bahwa beberapa 'keanehan' saya di kelas sebenarnya ada dasarnya. Sebagian dari yang saya lakukan itu sudah pada jalur yang benar, sebagian yang lain masih memerlukan banyak sekali perbaikan. Ke depannya, saya berharap diri ini terus belajar dan berlatih, sehingga terus menjadi sosok guru yang lebih baik. Rangkaian Merdeka Belajar yang berkiblat pada ajaran Ki Hajar Dewantara, menjadi alur baru yang menantang sekaligus dapat dipelajari. Semoga membawa masa depan yang lebih baik bagi individu-individu yang saat ini berstatus murid saya. Dulu saya sudah pernah membaca buku "Pendidikan" tulisan Ki Hajar Dewantara, namun saya tidak sepenuhnya paham sekalipun saya berkecimpung di yayasan Tamansiswa. Mengikuti PGP memberi saya insight yang sangat aplikatif disertai support system yang hangat. Bila dulu sistem among hanya saya pandang sebagai sebuah slogan, sekarang saya memandangnnya sebagai panduan karena jelas dapat diaplikasikan pada berbagai bidang. 

Selain buku "Pendidikan" tulisan KHD, saya juga mendapatkan tambahan ilmu dari sumber lain, seperti "Mindful Life" karya Darmawan Aji dan "Teacher as a Coach" karya Pramudianto. Mindful Life memberi panduan ringan dan aplikatif terkait kehadiran sepenuhnya, sedangkan Teacher as a Coach memberikan banyak pandangan baru terkait bagaimana coaching dilakukan. 

Sebagai guru, memang seharusnya terus belajar dan berani mengambil tantangan-tantangan baru agar tidak terlena di zona nyaman. Bagaimanapun jaman terus berubah. Guru perlu terus selaras dengan alam, termasuk bila alam telah mengalami perkembangan teknologi dan ilmu. 

Tetap semangat, Para Guru di manapun berada. 

Guru Penggerak. Tergerak. Bergerak. Menggerakkan. 


Minggu, 19 Februari 2023

Saya dan Siswa Setelah Dua Bulan Pertama Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7 - Sebuah Refleksi

 

Kelompok Kab Malang 166 B - Bersama Pengajar Praktik

Modul 1.4 melengkapi potongan puzzle yang sebelumnya masih menjadi tanda tanya bagi saya. Sebagai guru, saya merasa ada yang kurang dari interaksi saya dengan siswa. Ini salah satu alasan saya mengikuti seleksi Calon Guru Penggerak. Hal ini terasa semakin dalam ketika pindah ke lingkungan baru dengan budaya dan situasi yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah sebelumnya.

Selama dua bulan ini saya mempelajari modul 1 yang terdiri dari 4 bagian, yaitu Modul 1.1  Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional - Ki Hajar Dewantara, Modul 1.2 Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak, Modul 1.3 Visi Guru Penggerak, dan Modul 1.4 Budaya Positif. Dalam proses tersebut, saya menyadari bahwa sebagai guru saya selama ini memandang peserta didik sebagai sosok yang sama, padahal mereka masing-masing memiliki keunikan yang membutuhkan penanganan berbeda. Ibarat diri ini petani padi, maka peserta didik adalah bibit padi yang berbeda-beda, baik kondisi fisik, kemampuan, dan latar belakangnya (kodrat alam). Petani tidak bisa mengubah kodrat alam bibit, tetapi bisa menyelenggarakan perawatan yang berpihak pada bibit, terus berinovasi, dan merefleksi diri agar ke depannya bisa lebih baik.

Guru Ibarat Petani


A.   Pemikiran Reflektif Terkait Pengalaman Belajar

Materi yang disajikan dalam Modul 1.4 yang meliputi disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi menjawab kebingungan saya tentang apa yang hilang dari interaksi saya dengan sekolah. Berada pada lingkungan yang meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa membuat saya merasa apa yang saya lakukan salah. Namun materi dalam modul ini memberikan saya pandangan dan semangat baru untuk meneruskan dan memperbaiki pola interaksi dengan siswa. Teknik menggiring siswa untuk menyadari kesalahan, mendapatkan solusi, sekaligus belajar menjadi manusia yang lebih baik dari kesalahannya dalam segitiga restitusi, terlihat lebih manusiawi dan memanusiakan. Saya bertekad terus belajar agar bisa menjadi manajer yang baik bagi siswa-siswa saya.

Saat menjalani tahap Mulai Dari Diri Sendiri, dimana kami mempelajari materi secara mandiri, saya merasa sangat bersemangat. Saya sering mendapati bagian-bagian yang begitu menggugah, yang kemudian saya bagikan melalui story WA. Ternyata saya mendapatkan respon-respon positif, yang semoga menjadi inspirasi bagi orang lain. Semoga hal tersebut juga menggugah rekan-rekan guru dalam lingkaran pengaruh saya untuk mengikuti PGP.  

Dalam peran sebagai guru, saya berkesempatan menghadirkan pembelajaran yang inovatif dan berpihak pada murid, menjadi sosok yang mandiri, kolaboratif, dan reflektif, sebagaimana nilai-nilai Guru Penggerak. Dalam lingkaran pengaruh yang sudah dipunyai yaitu kelas tempat mengajar, guru bisa memimpin pembelajaran dan mengembangkan diri dan orang lain. Selain itu, saya juga belajar untuk memimpin pengembangan sekolah dan memimpin manajemen sekolah, pada lingkup kecil tersebut. Dalam mengimplementasikan apa yang sudah didapatkan, saya bisa mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran, coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan mengerakkan komunitas praktisi.

Sebelum mempelajari Modul 1.4, saya mengambil posisi kontrol sebagai teman dan sebagian dari posisi kontrol manajer saat berinteraksi dengan siswa. Hal tersebut sudah merupakan aktivitas yang baik, namun setelah mempelajari modul ini saya bertekad akan terus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer. Saya perlu menggali kebutuhan dasar siswa yang ternyata bisa tercermin dari ulah dan ucapannya. Tekad ini memberi saya perasaan bersemangat untuk terus belajar dan berlatih membangun budaya positif. Saya juga terus berusaha berkolaborasi dengan guru lain untuk bersama-sama memberikan pelayanan terbaik bagi siswa. Bila diperlukan dan kompetensi saya mumpuni, saya bisa menjadi coach bagi guru lain.

 

B.   Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP

Setelah mempelajari modul ini, merefleksi diri, dan berlatih menerapkan pengetahuan yang saya dapatkan, timbul beberapa pertanyaan dalam diri saya. Antara lain:

  •     Bagaimana membentuk budaya positif pada lingkungan yang meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa?
  •    Bagaimana menjalin kerjasama dengan rekan sejawat dan orang tua untuk membangun budaya positif yang konsisten dalam lingkungan siswa, setidaknya di sekolah dan di rumah?
  •    Dapatkah konsep posisi kontrol dilatihkan pada siswa, sehingga mereka bisa menjadi sosok-sosok manajer bagi diri sendiri maupun rekan sebayanya?

Setelah memahami materi ini, saya paham bahwa sangat penting memiliki keyakinan kelas atau sekolah, yang menjadi kompas perilaku bersama. Saat ini poin tersebut belum kami miliki, sehingga saya berencana untuk melakukannya pada awal semester genap. Nantinya keyakinan kelas itu disosialisasikan kepada guru lain maupun orang tua. Bila memungkinkan, diadakan sejenis kegiatan parenting agar orang tua melatih segitiga restitusi dalam menangani ulah anak-anaknya sekaligus memperkenalkan 5 kebutuhan dasar manusia. Saya berencana menyusun strategi melatih siswa menjadi pemegang posisi kontrol manajer bagi teman sebayanya, yang semoga bisa membawa manfaat bagi lingkungan.

Tantangan yang saya hadapi dalam menerapkan budaya positif adalah lingkungan sekolah yang masih meyakini bahwa hukuman dan konsekuensi adalah cara terbaik mendisiplinkan siswa. Cara ini memang efektif dalam jangka pendek dan selagi sosok yang ditakuti itu ada. Setelahnya siswa kembali berulah. Namun jelas berat jika saat ini saya langsung memulai di level sekolah. Maka solusi yang bisa dikerjakan saat ini adalah menerapkan budaya positif dari kelas yang saya pegang yang menjadi lingkaran pengaruh saya terlebih dahulu. Semoga nantinya bisa menjadi percontohan bagi kelas yang lain dan kemudian pengaruh baiknya menyebar.

 

C.   Membuat Keterhubungan

Bercermin dari pengalaman masa lalu saat masih menjadi siswa TK, dimana ada guru yang mencubit karena saya kurang semangat bertepuk tangan, saya memandang hukuman sebagai hal negatif. Apa yang dilakukan guru tersebut terlihat kecil, tetapi saya bisa mengingatnya sampai sekarang. Selain itu, saya pernah mengajar di sekolah lain, dimana anak-anaknya bercerita kepada saya mereka senang membuat marah guru tertentu. Marahnya guru tersebut membuat mereka bisa keluar kelas dan tidak perlu mengikuti pelajaran sebab demikianlah hukuman saat beliau marah.

Hal-hal di atas memberi saya keyakinan untuk tidak melakukan hal serupa di masa depan. Menerapkan disiplin positif dan menjadikannya budaya baru di sekolah saat ini jelas menantang. Saya memilih memulainya dari kelas yang merupakan lingkaran pengaruh saya. Anak-anak yang merasa nyaman, akrab berinteraksi dengan saya dan temannya, serta sama-sama berpikir untuk maju bersama adalah semangat. Hal baik seperti ini akan saya teruskan. Misalnya bagian dari segitiga restitusi dimana saat siswa melakukan tindakan yang salah, saya tidak menyalahkan, tetapi lebih fokus pada alasan dan bagaimana dia berinisiatif menyelesaikan masalah. Ternyata hal ini membuat siswa tidak takut membuka diri dan setelahnya menampakkan perilaku yang lebih baik.

Langkah nyata yang sudah saya ambil adalah menghadirkan inovasi pembelajaran. Bila selama ini lebih banyak menggunakan ceramah, diskusi, presentasi, dan praktikum, maka saya mengajak siswa bermain. Permainan kami adalah Taboo Game, yang saya lakukan baik di kelas Bahasa Inggris, IPAS, maupun P5. Taboo Game diawali dengan menggunakan soal yang saya buatkan. Namun setelah siswa mahir, mereka saya persilahkan membuat soal sendiri untuk digunakan bersama. Taboo Game dapat menghadirkan suasana bahagia, mengetahui tingkat serapan peserta didik atas materi yang sudah dipelajari, sekaligus melatih peserta didik mandiri, berkolaborasi, memimpin, dan percaya diri. Selain itu, saya berencana pada semester depan menghadirkan Tes Diagnostik pada awal masuk sekolah, agar ke depannya dapat menghadirkan cara belajar yang lebih tepat sasaran.

Alat Bermain Taboo Game IPAS Hasil Karya Siswa


Taboo Game Mapel IPAS

Saya juga menggerakkan Perpustakaan Sekolah “Adhista Library” dimana saya menjadi Kepala. Kami telah menyusun program dan menjalankannya tahap demi tahap. Kegiatan yang sudah terlaksana adalah seleksi buku lama, dimana koleksi yang sudah tidak digunakan dimasukkan gudang. Selain itu kami melaksanakan workshop Otomasi Perpustakaan. Saat ini Otomasi sedang berjalan dalam tahap entry data buku, selagi menantikan tambahan komputer dan perlengkapan pendukungnya. Kami juga melaksanakan pendataan dan pelabelan buku non teks yang selama ini hanya disimpan dalam lemari. Program lain yang sudah berjalan adalah pembuatan media sosial perpustakaan yang diisi dengan kegiatan di Perpustakaan, pameran koleksi buku, dan hal-hal lain yang sesuai dengan visi Adhista Library: “SMKN 1 Pujon Bertabur Bintang Literasi Yang Bernalar Kritis dan Kreatif”.


Pemakaian Perpustakaan Untuk Kegiatan Presentasi Ekskul Pramuka

Kami membentuk komunitas praktisi CETAR BERLIAN (Cerdas Elaboratif Terampil Adaptif Religius Berwawasan Lingkungan) bersama CGP di kelompok 166 B. Komunitas ini fokus pada kegiatan pengelolaan sampah di lingkungan sekolah masing-masing. Di SMK Negeri 1 Pujon, kami menginisiasi program percontohan pengelolaan sampah di kelas tempat mengajar. Saya mengajak siswa kelas X APHP. Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah polling untuk mengetahui pengetahuan dasar siswa dan ide-ide yang mungkin sudah mereka miliki. Selanjutnya kami melakukan edukasi pengelolaan sampah di sekolah bekerja sama dengan Kertabumi Recycling Center, Jawa Barat. Ke depannya kami akan membuat produk kreatif dari sampah sebagai tugas liburan. Nanti saat masuk semester genap, kami akan menyusun program pengelolaan sampah di kelas X APHP, antara lain pengadaan refill air minum untuk mengurangi sampah botol plastik, pemilahan sampah, dan inisiasi bank sampah.

Suasana Edukasi Pengelolaan Sampah Sekolah Bersama Kertabumi Recycling Center


Program pengelolaan sampah tersebut akan berjalan beriringan dengan penyusunan keyakinan kelas dan menjalankannya. Keyakinan kelas ini nampaknya perlu disosialisasikan baik kepada guru pengajar yang lain maupun kepada orang tua, agar bisa diajak bekerja sama menjalankannya. Saya sudah memulai dengan latihan mengaplikasikan Segitiga Restitusi dalam menangani siswa pelaku tindakan yang salah dan meminta pendapat siswa sasaran terkait metode tersebut. Ternyata mereka nyaman menyelesaikan masalah dengan segitiga restitusi, bila dibandingkan dengan hukuman atau konsekuensi.

Semua upaya ini bermuara untuk terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yang mungkin setiap peserta didik miliki, namun belum terpenuhi di rumah (keluarga) maupun di lingkungannya yang lain. Diharapkan dengan semua upaya tersebut, peserta didik merasa nyaman di sekolah, bisa belajar dengan baik, dan kodrat alamnya bisa dimaksimalkan untuk mencapai manusia merdeka dan siswa yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.

Konsep yang disampaikan dalam Modul 1.4 sudah lengkap dan memberikan pencerahan bagi saya. Namun saya perlu lebih banyak lagi belajar tentang teknik-teknik penerapan pembentukan budaya posisif di lingkungan kelas maupun sekolah, termasuk bagaimana Guru Penggerak berteguh hati dalam menjalankan gerakannya. Hal-hal tersebut semoga bisa diperoleh dengan adanya forum diskusi CGP maupun best practice yang dibagikan rekan-rekan guru yang lain. Selain itu, saya tertarik dengan konsep yang ditawarkan pakar seperti Ayah Edy, seri Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib, dan “Alhamdulillah Anakku Nakal” dari Miftahul Jinan. Tidak menutup kemungkinan kelak akan saya temukan sumber-sumber lain yang menarik dan aplikatif. 


Rabu, 01 Februari 2023

5 Keseruan Budaya Positif di SMEKSA dan SM3GA

 

Undangan Diseminasi Budaya Positif

Perjalanan sebagai Calon Guru Penggerak telah tiba di penghujung Modul 1. Kami melakukan aksi nyata dari isi modul tersebut: Budaya Positif. Materinya banyak, tetapi entah bagaimana, membuat saya justru merasa tertampar dan sangat bersemangat. Tak jarang dalam prosesnya manggut-manggut atau senyum-senyum sendiri. 

Nah, ini 5 keseruan yang saya alami dalam aksi nyata Budaya Positif dan SMEKSA (SMKN 1 Pujon) dan SM3GA (SMKN 3 Batu):

Serunya Proses Belajar

Modul 1.4 judulnya memang pendek: Budaya Positif. Tetapi di dalamnya ada deretan modul menarik, yang membahas tentang:
  1. perubahan paradigma belajar
  2. disiplin positif
  3. motivasi perilaku manusia
  4. kebutuhan dasar manusia
  5. posisi kontrol restitusi
  6. keyakinan kelas
  7. segitigas restitusi
Di dalamnya memuat pendapat para ahli, contoh kasus, hingga penugasan-penugasan yang menantang namun sungguh menampar diri. Saya jadi menilik kembali cara-cara yang saya gunakan dalam mendidik calon-calon Pemimpin Bangsa. 
Tentu saja tidak ada yang sempurna. Yang ada adalah mereka yang mau terus belajar dan meningkatkan kemampuan diri. Betul?

Serunya Latihan Segitiga Restitusi di X APHP SMEKSA

Setelah menyimak materi, tiba saatnya aplikasi agar ilmu yang didapatkan meresap dan bermanfaat. Saya menggunakan kelas X APHP dimana saya menjadi wali kelasnya sebagai siswa sasaran. Bukan karena target, namun karena memang di kelas tersebut ada beberapa masalah yang perlu saya tangani. 
Pada awal masuk semester kedua, saya mengajak kelas X APHP mengevaluasi perjalanan kami pada semester genap. Kami mengarah pada hal-hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Setelahnya, muncul beberapa peraturan agar suasana kelas lebih baik. Peraturan yang diusulkan dan disepakati cukup banyak namun dapat dikategorikan dalam tiga buah keyakinan kelas, yaitu Etika, Tertib, Hormat. 
Sebagai demonstrasi kontekstual segitiga restitusi, saya menangani dua siswa bermasalah. Siswa pertama bermasalah karena tidak hadir dalam kegiatan diseminasi hasil pelatihan Pramuka yang diikutinya. Siswa kedua sering terlambat tiba di sekolah. 
Proses segitiga restitusi kedua siswa tersebut dapat disimak melalui https://drive.google.com/file/d/1C7iIoM0OldpfRQdJm-b4gv1HIPXsiAKR/view?usp=share_link
Setelah kedua siswa tersebut, saya terus berlatih menangani siswa dan siswi yang lain. Penanganan dengan segitiga restitusi bukan hal yang instant, maka saya perlu menjaga konsistensi dan follow up dari apa yang sudah kami kerjakan agar nantinya mendapatkan hasil yang baik. 
Suasana Musyawarah Penyusunan Keyakinan Kelas X APHP


Harus Membagi Waktu dengan Tugas Sekolah dan Rumah


Keseruan ketiga adalah keharusan menjalankan proses pendidikan Guru Penggerak tanpa meninggalkan tugas sekolah dan rumah. Saya belajar untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, agar tugas-tugas terselesaikan di ketiga hal tersebut. 
Mungkin tidak sempurna, contohnya saya tidak terlalu mengejar rumah yang rapi, seterikaan tertangani tepat waktu, bergosip, atau setiap hari memasak yang rumit. Saya jadi tahu, tanpa melakukan hal-hal rumit itu, saya tetap bisa hidup dengan baik. Maka pola seperti ini mungkin perlu diteruskan. He he he.

Berbagi Secara Daring dengan SM3GA

Saat mendaftar CGP dan mendapatkan rekomendasi, saya masih mengajar di SM3GA. Saya merasa tidak lengkap bila belum membagikan apa yang saya tahu kepada teman-teman di sana. Maka, pada hari Senin, 23 Januari 2023, bertepatan dengan cuti bersama Imlek, saya mengundang rekan-rekan untuk bergabung melalui Google Meet Belajar.id. 
Forum tersebut saya gunakan untuk membagikan informasi tentang Budaya Positif kepada rekan-rekan. Alhamdulillah, teman-teman merasa mendapatkan hal baru. Semoga bermanfaat. 
Google Meet bersama warga SM3GA


Diseminasi Luring di SMEKSA

Setelah diseminasi daring, saya lanjutkan dengan diseminasi luring bersama Pak Rinto dan Bu Sari, yang merupakan sesama CGP dari SMEKSA. Kami mendapat kesempatan berbagi pada hari Jum'at, 27 Januari 2023. Kami sangat senang mendapatkan dukungan dari rekan-rekan guru dan staf, ditunjukkan dengan jumlah rekan yang hadir memenuhi undangan. 
Forum ini menjadi ruang kami membagikan sebagian cuplikan modul, disertai dengan pengalaman kami menerapkan isi modul 1.4. Kami juga mendapatkan pertanyaan dari rekan-rekan dan terbentuk forum berbagi praktik baik. Semoga forum seperti ini bisa diteruskan dan menjadi budaya positif yang dapat mengembangkan gairah belajar dan kompetensi guru. 
Bagaimana suasana sharing dan diskusinya? Simak yuk di https://youtu.be/ogLo5kNyf88

Bulan ini kami akan mulai masuk modul 2 dan mengikuti Lokakarya. 
Saya sangat bersemangat menantikan keseruan-keseruan berikutnya.