Senin, 21 Desember 2015

Pembentukan Dewan Ambalan, the action

As I promise,
hari ini saya akan menulis tentang pembentukan Dewan Ambalan.
Idealnya sih, Ambalan itu terdiri dari sekitar 40 anak saja. Jadi jika mengacu pada angka ini, maka di sekolah tempat kami beraktivitas, akan terbentuk setidaknya 9 Ambalan kelas X dan 4 ambalan kelas XI. Tetapi dengan kondisi yang ada, satu Ambalan dibentuk dulu yang merupakan gabungan dari kelas X dan XI. Ambalan ini diaktifkan, baru membentuk Ambalan baru bila dianggap perlu.
So, untuk membentuk yang sebiji ini, kami berkumpul pada suatu hari Minggu nan cerah ceria.
Setelah para Pembina juga hadir, mulailah.
Walau satu sekolah, tetapi antara kelas X dan kelas XI, pun dengan Pembina masih ada acara tidak hafal nama. Jadi ice breaker yang kami gunakan adalah perkenalan. Caranya sederhana saja. Setiap yang hadir secara bergiliran dipersilahkan memperkenalkan diri, kemudian ditanggapi oleh yang lain. Boleh ditanyain apa saja. Walau saking pemalunya, banyakan yang ditanyakan adalah alamat rumah dan status pacar. Halah.
Next setelah itu baru adik-adik penegak dilepas untuk membicarakan sendiri kepengurusan Ambalan, nama Ambalan, sandi Ambalan, Semboyan, Logo sampai Pusaka Ambalan dan hal-hal lain yang menjadi ciri khas Ambalan. Yang ini, setiap Ambalan pasti akan punya cara dan metode masing-masing. Jadi saya ceritakan garis besarnya saja.
Metode yang kami gunakan adalah musyawarah mufakat, dilengkapi dengan corat-coret di white board. Jadi setiap ada ide, langsung dituang di white board. Nanti selesai pertemuan, dokumentasi kita berupa foto white board. Praktis dan kekinian. Begitulah.
Tidak mudah, sebab sekitar 30 kepala anak muda yang sedang kaya ide dan semangat harus disatukan. Syukurlah semua berakhir manis.
Selesai dengan semua itu, kami akhiri rapat DA.
Next, kami menjadwalkan untuk pelantikan Bantara dan Dewan Ambalan. Tetapi karena yang ini belum dilaksanakan, sebaiknya tunggu tulisan saya berikutnya yak.

Satyaku kudarmakan. Darmaku kubaktikan.

Selasa, 15 Desember 2015

Pembentukan Dewan Ambalan

Memulai sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada itu memang menantang. Walaupun Pramuka sudah menjadi organisasi pemuda dari jaman 60an, tetapi di sekolah yang masih baru berdiri, tentu harus memulai dari awal.
Selain faktor kewajiban sebagai kelanjutan dari kurikulum baru, ada pula faktor anak-anak yang memang berminat dengan kegiatan kepramukaan.
Dalam perjalanan kami, anak-anak yang berminat ini memang sudah ada. Mereka berinisiatif mengikuti kegiatan tingkat kota agar bisa sharing dengan anak-anak dari sekolah lain yang gugus depannya sudah berdiri.
Pulang kegiatan, tibalah tantangan yang sebenarnya.
Selain latihan rutin, langkah awal yang perlu dilakukan adalah Pembentukan Dewan Ambalan. Dewan Ambalan terdiri dari anak-anak yang memang berminat dan harapan kami akan diarahkan untuk menjadi pembina aktif kelak.
Pada edisi berikutnya, akan saya ceritakan detil proses yang kami lalui dalam rapat pertama calon Dewan Ambalan. Tunggu ya.

Senin, 30 November 2015

SUPER KUTU

(Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Suara Pendidikan disertai hasil wawancara sebagai nara sumber penggunaan dongeng untuk pendidikan karakter anak)

Bobo adalah seekor kutu yang tinggal di perpustakaan keluarga tikus. Meskipun ia adalah seekor kutu, ia tidak memakan lembaran-lembaran kertas pada buku, yang mengakibatkan buku itu rusak. Bobo malah merawat semua buku dengan sangat baik. Sehingga semua orang dapat mengambil ilmu dari buku-buku itu. Keluarga tikus sangat sayang padanya. Mereka menyebut Bobo si Kutu Buku.
Saat liburan, keluarga tikus pergi ke luar kota selama dua hari. Bobo sendirian di rumah itu. Ia menjaga kebersihan dan kerapihan rumah itu. Bobo juga berusaha agar rumah itu aman dari gangguan.
Pada hari pertama liburan, teman-teman Bobo menelepon. Mereka akan datang berkunjung. Jumlah mereka sangat banyak, sehingga Bobo harus menyediakan banyak sekali makanan dan tempat yang luas. Ternyata, tempat paling luas di rumah itu adalah perpustakaan. Maka, mereka berkumpul di perpustakaan, dengan syarat tidak boleh berantakan saat makan. Teman-teman Bobo menyanggupi syarat itu. Mereka asyik mengobrol sambil makan kue-kue lezat buatan Bobo. Ketika melihat buku-buku yang rapi, maka mereka merasa tertarik untuk mengambil buku dan memakan lembaran kertasnya. Bobo menjadi marah.
“Kalian sudah berjanji untuk bersikap baik di sini. Jika kalian tidak mau bersikap baik, maka sebaiknya pertemuan kita ini selesai. Kalian boleh pulang. Terima kasih sudah menengokku.” Kata Bobo. Teman-temannya berdiskusi untuk membicarakan hal itu. Akhirnya, mereka mengerti dan meminta maaf. Pertemuan itu berlanjut dengan menyenangkan.
Pada hari kedua, Bobo mendengar bel pintu dibunyikan.
“Kriiingg”
Saat pintu dibuka, ternyata tidak ada siapapun. Bobo merasa heran. Jadi ia keluar untuk melihat halaman dan sekitar rumah. Saat itu, sekelompok tikus liar masuk rumah. Mereka langsung menuju ke perpustakaan. Mengetahui hal itu, Bobo langsung masuk rumah dan berusaha sekuat tenaga menyerang tikus-tikus itu. Meskipun ukuran tubuhnya jauh lebih kecil, tetapi Bobo menggunakan bermacam-macam alat bantu. Ia gunakan ketapel untuk menembakkan butir-butir kacang hijau ke kepala tikus-tikus itu. Mereka menjadi pusing. Ia juga memetik bunga yang baunya busuk, sehingga bisa membuat tikus-tikus itu hampir pingsan. Agar Bobo tidak ikut pingsan, ia menggunakan masker dan sarung tangan.
Lalu, Bobo menggunakan penyedot debu super kuat untuk menyedot tikus-tikus itu. Ternyata, yang ditarik oleh penyedot debu super adalah bulu-bulu pada tubuh tikus itu. Bobo merasa heran, karena setelah tanpa bulu, kulit tikus itu terbuat dari kertas. Penyedot debu super terus menyedot tubuh tikus. Maka, kertas pelapis itu juga tersedot. Akibatnya, tampaklah bahwa tikus liar itu sebenarnya adalah rangka dari kayu, yang dilapisi kertas dan ditempeli bulu-bulu. Di dalam rangka kayu itu, teman-teman Bobo sedang menggerakkan tikus tiruan.
Tepat pada saat itu, keluarga tikus tiba di rumah. Mereka melihat ada yang berusaha menyerang rumah mereka, tetapi Bobo berhasil mengalahkannya.
“Mulai sekarang, kamu bukan Bobo si Kutu Buku lagi. Tetapi kami akan memanggilmu Bobo si Super Kutu.” Kata papa Tikus sambil mengacungkan jempolnya.


~TAMAT~ Karya: Bunda Santi, Alya dan Inung

Senin, 23 November 2015

Keseimbangan Baru

Sebelumnya, saya juga tidak pernah tahu bahwa kaleng minuman bisa digunakan untuk bermain-main. tetapi setelah membaca sebuah buku tentang sains, dapatlah ide untuk memainkannya.
Caranya sederhana saja. Ikuti ya.

  1. Beli minuman kaleng, kecuali kamu punya toko sendiri  :D Tetapi pastikan dia layak diminum.
  2. Cobalah membuatnya berdiri miring seperti pada gambar. Berhasil?
  3. Sekarang buka minuman dan minum sampai tersisa sekitar sepertiga bagian.
  4. Sekarang coba kembali membuatnya bisa berdiri miring seperti pada gambar. Gambar di atas adalah hasil usaha putri saya yang masih kelas 1 SD.
Bagaimana kaleng penuh tidak bisa berdiri sedangkan kaleng yang isinya tinggal sebagian malah bisa?
Ternyata hal ini berhubungan dengan titik berat benda. 
Kaleng yang masih penuh titik beratnya berada di tengah, sehingga ketika diusahakan berdiri miring, ia tidak akan bisa.
Setelah sebagian isinya diminum, dalam kaleng ada tempat untuk menyeimbangkan permukaan air saat kaleng dimiringkan, sehingga titik berat benda berpindah dan kaleng dapat berdiri miring. 

Apa yang dilakukan putri saya hari ini memberi saya pelajaran baru. Bahwa kondisi sekitar dan hidup kita mungkin selalu berubah. Dinamis. Kita tidak bisa menghentikan perubahan-perubahan itu. Yang bisa dilakukan adalah mencari keseimbangan-keseimbangan baru. 

Jika penjelasan saya ada kekurangan, afwan. Mungkin ada teman-teman yang lebih mengerti, kita share yuks. 

Selasa, 03 November 2015

Telepon itu

Waktu itu, status saya masih calon menantu. Tentu saja sangat jarang sekali berkunjung ke rumah yang sekarang juga menjadi salah satu rumah saya. Lokasi rumah kedua ini letaknya sekitar 45 menit perjalanan naik motor dengan kecepatan normal dari rumah orang tua kandung saya.
Suatu hari, ketika sedang menghabiskan weekend di rumah orang tua, ada missed call dari nomor telepon rumah calon mertua. Ketika saya telepon balik, calon adik ipar yang mengangkat.
“Tadi nelepon ke HPku?” tanya saya.
“Enggak tuh. Ini aja aku baru masuk rumah. Bapak-Ibu ke luar kota.”
Nah lho. Lalu siapa yang membuat panggilan tadi?
Kejadian ini masih beberapa kali menjadi topik pembicaraan kami, bahkan setelah 10 tahun menjadi bagian dari keluarga itu.
Sampai sekarang, tetap tidak ada penjelasan logis. Yang ada hanya penejelasan bahwa tidak hanya keluarga kami tinggal dalam bangunan itu. Selagi keberadaannya tidak mengganggu, ya biarlah.
Toh, dengan panggilan tidak jelas waktu itu, saya jadi tahu bahwa calon adik ipar saya sendirian di rumah. Walau tidak bisa menemani, tetapi setidaknya bisa menyemangati dan mengingatkan agar dia berhati-hati.
Telepon itu sendiri, memang masih menggunakan telepon jadul. Tetapi masih berfungsi dengan baik dan menarik bagi para cucu. Sekarang kan tidak banyak ditemukan telepon yang tombol panggilnya berupa tombol putar. Suara yang dihasilkan masih jelas. Deringnya juga dijamin bisa membangunkan seisi rumah.
Meski usianya sudah uzur, tetapi telepon ini masih dipertahankan. Bukan karena tidak mampu membeli telepon modern. Tetapi sejarah telepon itu sendiri yang juga perlu dihargai. Jika memungkinkan, barangkali bisa dipertimbangkan memberinya sertifikat penghargaan. J

Selasa, 16 Juni 2015

I Can Do This

As a teacher, I found that sometimes teacher blame the students when they got problem. The teacher said, the problem is only because the student's mistakes. But then, in many cases, I realize that the teacher use the different way to interact with the students. When the students want to have fun, the teacher ask them just to sit and shut up. It's not a surprise if the students choose to do something to make them free.
This situation will make the class un comfort for both of them. And in my perception, this happen so many time in the class with traditional style teacher. I don't blame the teacher, because I think every teacher can teach, as well as every students can learn. The only thing that need to change is the way it does.
For the condition like this, there are some way that teacher can do:

  1. Open your mind. Those students born and live in their own century. Not in ours. So, teacher must change their way to teach. There are so many fun way to interact with students.
  2. Learn a new teaching technology and techniques. Nowadays, there are so many books that bring so many new ways to teach. You don't need to spend your teaching times with one direction speak. You can change this way into discussion methods, games or many kinds card play.
  3. Be a good role models for them. Children are a very good duplicators. They'll see what you do and they'll duplicate it. So, if teacher want a different condition, they must give example. As an example, teacher wants the students throw the dust in the right place. Usual way is the teacher tell the request, but the teacher them self throw the dust not in the right place. It's not effective. The more effective way is teacher become discipline to throw the dust in the right place. So that the students will follow automatically.
It's only 3 ways. Be sure there are so many other way you can find that more applicable to your place. Just tell your self, "I can do this", then you'll can. To make a better class, a better generation.

Jumat, 29 Mei 2015

My Little Aikidoka

Ceritanya, kedua bidadari saya meminta kegiatan tambahan (baca: kegiatan luar rumah). Saya membaca gejala ini sebagai: mereka ingin menambah wawasan dan wilayah pergaulan. Syukurlah, tiba juga saatnya.
So, mulailah perburuan. Kami memulai dengan sebuah lembaga bimbingan matematika. Tetapi setelah dipikir-pikir, nanti di sekolah juga dapat matematika. Masa ikut kegiatan ekstrakurikuler juga matematika. Nggak jadi deh.
Kami mulai melirik kegiatan fisik. Ada banyak alternatif. Setelah menimbang, menyaksikan dan uji ketertarikan, pilihan jatuh pada Aikido.
Sore itu, kami menyengaja mengunjungi Eiki Dojo, nama tempat latihan Aikido di kota kami. Saat itu sudah lewat Isya, jadi yang sedang digelar adalah kelas dewasa. Mereka sedang berlatih menggunakan tongkat kayu. Gerakan dan aura fun yang mengisi dojo membuat kedua bidadari betah menunggu. Kami terus menonton sampai break. Saat itulah pelatihnya mendatangi kami dan menyapa:
"Selamat malam. Bisa dibantu?"
Nah, satu nilai positif sudah saya pegang. Maka mengalirlah obrolan singkat bahwa kedua bidadari saya ingin ikut, tetapi kabar yang kami terima, peserta minimal berumur 10 tahun. Eh, ternyata Sensei Erik yang menerima kami mengijinkan kedua bidadari saya yang baru 6 dan 8 tahun ikut, tetapi di Kids Class.
Kedua bidadari senang sekali. Maka kami pamit pulang.
Sambil berjalan, mereka asyik mengobrolkan latihan yang akan mereka ikuti minggu berikutnya.
Latihan pertama, mereka nampak menikmati. Saya sendiri menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama beberapa senior. Dari mereka saya tahu bahwa Kids Class Aikido bukan untuk fight, tetapi melatih fisik anak agar kuat, mereka gembira tetapi tetap bisa membela diri. Jadi latihannya ya seperti orang bermain begitu. Permainannya masih seputar aktifitas fisik Aikido juga. Contohnya Sikko Soccer, ini adalah sepak bola, tetapi dilakukan dalam posisi sikko (berjalan jongkok). Ada juga ular tangga. Peraturannya persis seperti ular tangga, tetapi untuk berpindah menggunakan gerakan sikko dan Ukemi (berguling ke depan).
Saya sih, selagi kedua bidadari fun, mereka tambah sehat dan disiplin, go on saja. Bahkan kebiasaan baik seperti cara naruh sandal di depan pintu, itu mereka bawa ke lingkungannya yang lain.
Satu golden moment yang lain, ketika suatu hari break latihan, si kakak menunjuk seragam Sensei Erik sambil bertanya: "Suatu saat aku bisa pakai celana seperti itu?"
"Tentu saja. Jadi tekunlah berlatih, ya."

Jumat, 27 Maret 2015

Vertical Garden (7)

Dalam setiap aktivitas, kegalauan mungkin saja melanda. Biasanya ketika mendapati kenyataan tidak sejalan dengan keinginan. Bisa juga karena banyaknya pilihan dan semuanya tidak bisa atau malah harus dipilih. Dalam usaha membuat vertical garden, saya juga mengalami hal serupa.
Sebagai guru merdeka, saya memang bebas untuk tidak menetap di satu wilayah saja. Sejauh itu, dengan berbagai pemakluman dan percaya dengan track record, semua bisa berjalan bersamaan. Tetapi kondisi ini anomali ketika ujian datang. Dipercaya menjadi pengawas di luar, tentu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Resikonya, tidak bisa check pagi tiap hari.
Syukurlah, saya memiliki murid-murid yang bersemangat. Dengan dipesani agar menyiram vertical garden setiap pagi, tanpa perlu diingatkan dan diawasi, mereka bergantian melaksanakan amanah. Meskipun hanya beberapa hari sekali bisa mampir, itupun siang hari, saya masih bisa mendapati tanaman-tanaman itu bertahan hidup dan vertical garden bertambah hijau. Walau mungkin ada beberapa media yang terlewati air, sehingga harus berakhir menyedihkan, setidaknya masih banyak bagian lain yang bertahan dan terus tumbuh.

Terima kasih murid-muridku. Kalian hebat.

Vertical Garden (6)

Vertical garden kami mulai nampak hijau. Tanaman sawi mulai terlihat akan bisa dinikmati dalam sajian mie beberapa saat lagi. Kuncup bunga ungu mungil di tengah dedaun Velces mulai muncul. Sulur-sulur gambas mencari wilayah yang lebih luas. Kacang hijau tegak setinggi jengkal. Cabe dan kacang panjang nampak segar.
Pujian mulai diberikan. Bahkan dukungan berupa sumbangan tanaman hias mulai berdatangan. Saat pengawas datang, tentu bisa langsung melihat perubahan wajah sekolah. Apalagi sering terlihat di pagi hari anak-anak bergantian menyiram satu demi satu tanaman (berikut teman yang lokasinya terdekat) dengan sprayer. Itu pemandangan yang indah. Sarapan pagi paling menyegarkan he he he.
Beberapa orang memberikan saran agar memunculkan vertical garden kedua di tempat yang memungkinkan. Saya bersyukur upaya ini diapresiasi. Tetapi jujur saja, menjaga kelangsungan satu vertical garden saja mengharuskan piket pagi enam hari seminggu. Dengan kondisi kami masih belajar dan pelakunya 4L, ya cukup menantang. Jika ingin ada vertical garden kedua, kami harus menemukan cara yang lebih efektif.  
Jadi jawaban saya sederhana saja.
“Satu ini dibuat subur dulu, sampai panen. TOGA yang terselip dapat tumbuh dengan baik dan dapat digunakan. Setelah itu baru perluasan wilayah.” Sederhana saja.

So, sampailah kini pada persimpangan ketika kesibukan di luar harus berjalan beriringan dengan kelangsungan hidup vertical garden. Apa yang terjadi? Besok ya.

Kamis, 26 Maret 2015

Vertical Garden (5)

Merancang vertical garden, sudah. Membuat wadah dan media, sudah. Menanam biji, sudah. Menemukan alasan bertanam organik, sudah. Saatnya mengamati benih yang telah ditanam.
Benih yang telah ditanam sebaiknya disiram dengan menggunakan sprayer lembut. Ini sesuai petunjuk pada beberapa buku. Tidak ada alasan spesifik disebutkan, tetapi menurut saya, hal ini untuk mengurangi kemungkinan benih hanyut akibat kebanjiran siraman. J Kebayang dong nasib biji sawi yang bulat, dengan diameter tidak lebih dari 1 mm, atau lebih kecil lagi biji kemangi dan biji bayam bila mereka digelontor dengan air.
Sawi, gambas dan bayam, tidak sampai dua minggu sejak ditanam sudah mulai bertunas. Biji cabe, bertunasnya tergantung lokasi. Di media yang rajin kena air, dengan cepat ia bertunas dan mulai berdaun. Saya sempat ragu dengan benih sawi yang saya tanam. Dua helai daun pertama sama sekali tidak mirip daun sawi. Karena menurut buku, sawi baru siap menjadi bibit setelah tumbuh empat daun, maka saya bersabar dulu. Daun ketiga yang kemudian muncul baru mirip dengan sawi. Barulah saya lega. Saya tidak salah benih. J
Dua minggu kemudian, daun keempat sudah menyusul. Media tempat biji sawi tumbuh nampak mulai sesak. Menurut guru olahraga kami, ini saatnya memindahkan. Atau menurut istilah yang saya pelajari di Pramuka Saka Wanabakti, ini disebut penjarangan. Yaitu pengurangan populasi agar pertumbuhannya lebih maksimal. Penjarangan hanya dapat kami lakukan pada sawi, cabe dan gambas. Ini karena benih yang lain tumbuh kurang sehat, nampaknya.
Penjarangan kami lakukan dengan memindahkan anggota populasi ke media baru. Kami menggunakan wadah polybag dengan diameter sekitar 20 cm dan tinggi sekitar 30 cm. Media yang digunakan masih campuran sekam bakar, tanah dan pupuk kompos organik yang telah matang dengan rasio 1 : 1 : 1. Harga polybag memang tidak terlalu mahal. Setiap kilogram untuk ukuran di atas dapat diperoleh dengan harga Rp 25.000,00 yang isinya bisa 100 kantong. Nah, yang terasa berat justru mengisinya dengan campuran media. Terlebih, tanah bebas di sekitar kami tidak banyak. Sebagian besar sudah diisi tanaman hias dan pepohonan atau sudah dilapisi paving. Selain polybag, kami juga memanfaatkan bekas kemasan minyak goreng isi ulang. Bentuknya kan sudah mirip polybag. Voilla, berderetlah sawi, gambas dan cabe dalam wadah hitam atau kuning di bawah vertical garden.
Dalam media yang baru, tentu saja setiap individu tidak lagi berebut nutrisi dan tumbuh kerdil. Dibantu sinar matahari dan air yang cukup, jumlah daunnya terus bertambah. Tingginya melesat. Sulur-sulur gambas mulai membelit ke sana kemari mencari pegangan. Semoga terus demikian. Semata agar mereka sempurnya menjalani tugasnya.
Mengamati pertumbuhan tanaman itu setiap pagi, rasanya menenangkan sekali. Ini sangat mirip dengan saat-saat yang saya lewatkan untuk mengamati pertumbuhan dan pertumbuhan kedua buah hati saya dan anak-anak di sekolah. Teruslah tumbuh. Semoga menjadi makhluk hidup yang kuat, besar dan bermanfaat, sesuai tugas kehidupan yang diemban dari Sang Khalik.

Apa masalah berikutnya? Lihat besok.

Rabu, 25 Maret 2015

Vertical Garden (4)


Konsep vertical garden kami adalah organik, maka sejak persiapan sampai panen harus menggunakan cara-cara pertanian organik. Sebelumnya, yang saya tahu tentang pertanian organik adalah produk sayuran yang dihasilkan bolong-bolong karena tidak diperkenankan menggunakan insectisida buatan. Justru bolongnya itu yang menjadi ciri khas sayuran organik. Betulkah?
Dalam mencari informasi tentang pertanian organik, salah satu referensi saya adalah buku “Bertanam Sayuran Organik bersama Melly Manuhutu”, yang ditulis oleh Melly Manuhutu dan Bernard T. Wahyu W. Buku ini diterbitkan oleh Agromedia Pustaka.
Menurut buku itu, konsep pertanian organik adalah sistem pertanian yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia (pengantar redaksi). Dalam pelaksanaannya, tahun pertama bertani organik, pada lahan yang sebelumnya menggunakan sistem pertanian biasa, belum bisa dikatakan organik. Lahan harus mendapat perlakuan khusus dan digunakan untuk bertanam organik beberapa siklus, sehingga kandungan bahan kimia dalam tanah terus berkurang. Setelah lulus uji laboratorium tentang kandungan bahan kimia sesuai standar, barulah seratus persen pertanian organik bisa diterapkan dan produk yang dihasilkan diakui sebagai produk organik. Tidak mudah, memang. Tetapi lihatlah dari segi manfaatnya.
Menurut Melly, sayuran organik lebih enak dan renyah. Bahkan wortelnya lebih manis. Meskipun kebanyakan daun sayuran organik berlobang bekas gigitan ulat, justru lobang-lobang ini menjadi trade mark. Unik juga ya. Maka kami juga harus menerapkan hal ini di vertical garden. Tanda-tanda bakal mendapat pengalaman ini saya rasakan waktu melihat ada kupu-kupu terbang di sekitar vertical garden. Selang beberapa hari, saat menyiram sawi, saya menemukan seekor ulat mungil yang terpaksa diberangus sebelum menghajar seluruh tanaman. Begitu pula kutu daun di pucuk tanaman cabe yang masih mungil dan gejala daun cokelat pada tanaman kacang. Nah, berarti kehadiran mereka harus senantiasa diperhatikan. Walau, untuk sementara kami belum tahu cara memberantas dengan musuh alaminya, kami cukupkan dengan menghilangkan bagian tanaman yang diserang.

Kalau soal produk yang lebih enak, lebih renyah dan lebih manis, ya kita lihat beberapa bulan mendatang. Next edition, saya akan berbagi tentang penjarangan tanaman. Apakah itu? Besok ya.

Selasa, 24 Maret 2015

Vertical Garden (3)

Minimnya pengetahuan saya tentang dunia tanam-menanam sangat terbukti dalam upaya melangsungkan vertical garden. Saya tidak pernah tahu berapa lama biji kacang panjang akan bertunas. Tunas yang muncul, mana yang tanaman liar dan mana tumbuhan yang kami harapkan, saya hampir tidak dapat membedakan. Kalau rumput, saya tahu pasti. Apalagi kami yakin sekali dalam vertical garden kami tidak menanam padi sama sekali.
Benih yang saya sediakan pada awalnya bukan produksi pabrik dengan keterangan lengkap. Benih itu saya beli di sebuah lokasi wisata, dikemas dalam plastik panjang. Kira-kira dalam satu paket ada selusin jenis tanaman, yang hanya dilengkapi nama tumbuhan. Ini cukup menyulitkan. Terlebih ketika bekerja, kami tidak ingat untuk memberi label pada wadah. Jadi kami sepakat bahwa kita tunggu saja sampai berbuah. Nanti juga ketahuan tanaman apakah itu. Praktis dan entah sampai kapan penantian kami he he he.
Berdasarkan kondisi di atas, saya mencari informasi bagaimana mendapatkan benih tanaman. Dari seorang teman saya mendapat referensi web penyedia benih tanaman, mulai bebungaan sampai sayuran aneh-aneh macam tomat pelangi. Harga memang tidak terlalu mahal, tetapi kemasannya kecil dan masih akan ditambah ongkir. Nah, ini dia. Lalu saya diskusi dengan guru olahraga yang kebetulan orang tuanya petani. Darinya saya tahu bahwa di pasar kota kami ada toko-toko pertanian yang menyediakan beraneka benih. Dan ini terbukti. Beraneka benih sayuran dan buah dijual dalam kemasan sachet. Isinya cukup banyak dan harganya juga relatif terjangkau. Karena masih belajar, saya memilih tumbuhan yang paling mudah dan pasti digunakan, yaitu sawi mie ayam dan kangkung. Keduanya cukup diperoleh dengan harga total Rp 21.000,00.
Pada kemasan telah lengkap keterangan bahwa benih dapat ditanam langsung pada media, lama tumbuh sampai pada kelembaban dan keasaman yang dibutuhkan. Ini luar biasa. Melengkapi informasi ini, saya menyempatkan mencari pinjaman buku-buku pertanian, terutama pertanian organik di perpustakaan kota. Dari sana saya tahu bahwa sawi dan kangkung butuh waktu sekitar 2-3 bulan saja sampai panen.

Sampai di sini, masalah benih telah berhasil kami lalui. Tentu saja masalah selanjutnya bermunculan. Salah satunya ketika ada yang bertanya, pertanian organik itu yang bagaimana. Kita bahas esok hari, ya.

Minggu, 22 Maret 2015

Vertical Garden (2)

Sebagai manusi pembelajar dan setahun belakangan saya fokus pada Multiple Intelligences, saya memahami dan hasil tes (nggak resmi) saya adalah cukup rendah dalam kecerdasan naturalis. Ini terbukti dengan selama bertahun-tahun hidup saya hampir tidak pernah berhasil merawat tanaman, apalagi punya cita-cita memiliki hewan piaraan. Mak jleb he he he.
Tetapi khusus untuk urusan Vertical Garden, saya berpikir terbuka bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang punya tekad kuat untuk membantu kelangsungan hidup makhluk hidup lain. Selain itu, saya tahu bahwa kecerdasan majemuk juga dapat berubah peringkatnya. Bukan tidak mungkin kecerdasan naturalis saya akan meningkat dengan keukeuh merawat Vertical Garden.
Maka saya belajar bahwa membuat wadah media untuk sebuah Vertical Garden ada beragam cara. Terlebih botol-botol bekas yang kami manfaatkan bermacam-macam. Ketika bekerja dengan peserta didik, kami biarkan mereka berkreasi dalam memotong wadah. Ada yang diposisikan vertical, ada yang mendatar, ada yang lubangnya tunggal, ada pula yang kanan kiri.
Media tanam yang kami gunakan adalah campuran tanah, pupuk organik ‘jadi’ dan sekam bakar. Ketiganya dicampur dengan komposisi 1 : 1 : 1. Ini saya pelajari dari bapak guru Pendidikan Lingkungan Hidup. 
Selanjutnya, campuran dimasukkan ke dalam wadah sampai hampir penuh. Lalu di bagian tengah, anak-anak menanam bibit tumbuhan. Kami tidak pilih-pilih. Bibit cabai, kacang panjang, kedelai, gambas, binahong sampai pepaya juga ditanam di media. Setelah wadah seisinya siap, diikat pada rangka Vertical Garden dengan menggunakan tali putih atau kawat kecil. Ritual ini diakhiri dengan menyiram menggunakan sprayer kecil. Namanya anak-anak, selesai dengan penyiraman tanaman, mereka akan lanjutkan dengan menyiram temannya. Yahhh ... baiklah.

Ternyata, masih juga tidak semudah itu, saudara-saudara. Mengapa? Tunggu edisi berikutnya.

Vertical Garden

Salah satu program utama saya adalah mewujudkan sebuah Vertical Garden. Mengapa Garden? Karena sekolah kami sendiri membawa nama versi Indonesia dari Garden. Mengapa  Vertical? Karena taman yang biasa sudah ada. Itupun sudah menjadi tanggung jawab bapak Pramubakti. Mengapa Vertical Garden? Karena saya anti mainstream  :D. Selain itu, bersama guru Pendidikan Lingkungan Hidup dan guru Olahraga, kami ingin anak-anak tahu memanfaatkan barang bekas dan sekaligus mengenal cara hidup sehat dengan konsumsi sayuran organik. Dan kebetulan sekali, semester itu juga turun semacam anjuran dari Pemerintah Kota melalui Dinas Lingkungan Hidup agar setiap sekolah memiliki taman yang memuat sistem pertanian organik. Jadi ‘pas’ sekali.
Maka dengan dukungan dana dari Pemerintah Kota melalui bendahara, ide pemakaian rangka besi dari Kepala Sekolah dan eksekusi oleh bapak Pramubakti, diwujudkanlah sebuah Vertical Garden. Sederhana saja. Hanya menghubungkan dua buah tiang beranda dengan batang-batang besi berdiameter 0,5 cm. Nantinya, pada batang-batang itu digantung botol-botol plastik bekas yang diisi dengan media tanam.

Nah, ternyata Vertical Garden tidak sesederhana itu. Mengapa? Ketemu lagi di edisi berikutnya.