Selasa, 03 November 2015

Telepon itu

Waktu itu, status saya masih calon menantu. Tentu saja sangat jarang sekali berkunjung ke rumah yang sekarang juga menjadi salah satu rumah saya. Lokasi rumah kedua ini letaknya sekitar 45 menit perjalanan naik motor dengan kecepatan normal dari rumah orang tua kandung saya.
Suatu hari, ketika sedang menghabiskan weekend di rumah orang tua, ada missed call dari nomor telepon rumah calon mertua. Ketika saya telepon balik, calon adik ipar yang mengangkat.
“Tadi nelepon ke HPku?” tanya saya.
“Enggak tuh. Ini aja aku baru masuk rumah. Bapak-Ibu ke luar kota.”
Nah lho. Lalu siapa yang membuat panggilan tadi?
Kejadian ini masih beberapa kali menjadi topik pembicaraan kami, bahkan setelah 10 tahun menjadi bagian dari keluarga itu.
Sampai sekarang, tetap tidak ada penjelasan logis. Yang ada hanya penejelasan bahwa tidak hanya keluarga kami tinggal dalam bangunan itu. Selagi keberadaannya tidak mengganggu, ya biarlah.
Toh, dengan panggilan tidak jelas waktu itu, saya jadi tahu bahwa calon adik ipar saya sendirian di rumah. Walau tidak bisa menemani, tetapi setidaknya bisa menyemangati dan mengingatkan agar dia berhati-hati.
Telepon itu sendiri, memang masih menggunakan telepon jadul. Tetapi masih berfungsi dengan baik dan menarik bagi para cucu. Sekarang kan tidak banyak ditemukan telepon yang tombol panggilnya berupa tombol putar. Suara yang dihasilkan masih jelas. Deringnya juga dijamin bisa membangunkan seisi rumah.
Meski usianya sudah uzur, tetapi telepon ini masih dipertahankan. Bukan karena tidak mampu membeli telepon modern. Tetapi sejarah telepon itu sendiri yang juga perlu dihargai. Jika memungkinkan, barangkali bisa dipertimbangkan memberinya sertifikat penghargaan. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar