Rabu, 29 Juni 2016

SE 2016 SESI 10 ((Sementara) yang terakhir)

Rencananya, ini adalah sesi penutup dari rangkaian cerita saya tentang Sensus Ekonomi 2016. Jangan protes kok tidak digenapi 10.000. Kan saya sudah bilang, 10.000 itu kalau ada 1.000 petugas. Nah, yang teman-teman baca ini kan baru pengalaman 1 orang. Jadi cukup 10 saja ya. He he he. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika tiba-tiba saya ada Aha! Yang masih berhubungan dengan SE 2016, saya akan tuliskan sebagai sesi 11 dan seterusnya.
Saya akan isi sesi 10 ini dengan pesan-pesan dari responden saya, yang diharapkan disampaikan kepada pemerintah. Mereka melihat saya melakukan tugas negara, jadi dalam hal ini saya adalah wakil pemerintah.
Begini pesannya:
1.       Rata-rata responden saya adalah pengusaha kecil, macam ojek atau toko rumahan. Penghasilan dari usahanya banyak  yang kurang dari 500 ribu rupiah setiap bulan. Tolonglah pemerintah buat program yang benar-benar bisa menyentuh mereka agar bisa mengembangkan usahanya.
2.       Banyak responden yang sudah putus harap dengan pemerintah. Mau pemerintah membuat program macam-macam, mereka tetap harus mencari makan sendiri. Dari waktu ke waktu keadaannya ya begitu-begitu saja. Seolah tidak tersentuh tangan pemerintah. Bahkan yang ada, dengan penghasilan yang kian berkurang, pajak bumi dan bangunan (PBB) malah naik lumayan besar. Ada apa?
3.       Beberapa harapan muluk: petugas sensus ekonomi itu seharusnya bawa sembako tiap ke rumah responden.
4.       Ada pula yang bersemangat: “saya akan berikan data saya apa adanya. Tetapi sungguh saya tidak mengharapkan pertolongan apa-apa dari pemerintah.”
5.       Tolong ijin usaha dimudahkan. Terutama untuk usaha kecil dan industri rumah tangga. Kalau bisa dibantu sampai proses lab. Terutama untuk industri makanan.
Saya merasakan beragam emosi saat mengingat orang-orang yang menitipkan harapan-harapan itu. Saya yakin, mereka menitipkan harapan itu tentu dengan kepercayaan bahwa pemerintahnya masih memperhatikan hajat hidupnya.

Semoga apa yang telah kami kerjakan akan membawa manfaat bagi masa depan cerah bangsa ini. Aamiin. 

SE 2016 SESI 9

Saya sebelumnya tidak pernah mengetahui bahwa ada diantara tetangga saya yang telah menempuh jalan panjang untuk mendapatkan pencerahan spiritual. Pencerahan dalam arti kesadaran dari yang tadinya hidup bahagia sejahtera, tetapi jauh dari agama. Sekarang hidup bahagia dan tetap sejahtera, tetapi dekat dengan agama. Merasakan ketenangan hidupnya yang baru, dan betapa beliau merasa jauh lebih baik dan lebih bahagia daripada episode hidupnya yang dahulu, membuat beliau merasa sebaiknya menggunakan kesempatan bertemu saya untuk menceritakan pengalamannya.
Dahulu, beliau adalah seorang pebisnis. Banyak hal beliau dengan jeli bisa menjadikannya lahan bisnis. Hubungan dengan pemerintah, beliau sangat paham. Hubungan dengan pengusaha dan politik, apalagi. Dari segi penghasilan, luar biasa.
Setelah sekian tahun hidup seperti itu dijalani, beliau merasa ada yang hampa dalam dirinya. Lalu beliau mulai mencari. Berguru ke sana dan kemari. Membaca beragam buku. Sampai akhirnya beliau mendapatkan pencerahan dan memilih untuk meninggalkan segala keburukan di masa lalu.
Sekarang beliau hidup sederhana dengan mengelola rumah kos dan sebuah toko cemilan. Ibadah jadi sebuah kebutuhan, tetapi justru menjadikan hidup beliau lebih tenang dan bahagia.
Beliau mengajak saya berpikir. Selagi usia masih segini, (37 masih kok ya :D) saya masih berkesempatan memilih banyak hal. Kami bertemu dan beliau berbagi agar saya punya gambaran mana yang sebaiknya dijauhi, mana yang didekati. Kisah-kisah orang-orang yang saya datangi, tentu akan menambah pengetahuan dan wawasan saya tentang hidup. Jangan lewatkan itu.

Tentu, Bapak. Saya belajar banyak hal dari tugas yang saya jalankan ini. Terima kasih telah berbagi.

SE 2016 SESI 8

Suatu sore, saya masuk wilayah dekat-dekat rumah. Satu demi satu saya datangi, tanyai dan catat. Dari obrolan-obrolan itu, saya jadi tahu kondisi masing-masing tetangga saya. Ada yang sedang berusaha bangkit, ada yang sedang sulit, ada yang sakit, ada yang adem ayem karena banyak duit.
Menyadari materi demi materi itu, saya sadar betapa sebagai tetangga selama ini saya kurang gaul pakai banget. Saya memang bukan jenis perempuan yang suka bertandang berlama-lama ke rumah tetangga. Bukan karena saya tidak butuh tetangga, tetapi karena minimnya waktu. Saat ada kesempatan, biasanya ketika semua pekerjaan selesai dan anak-anak ingin berkeliling kampung, saya bisa menyapa tetangga.
Jadi di luar harapan saya, menjadi petugas Sensus Ekonomi 2016 memberi saya banyak pengetahuan baru tentang orang-orang di lingkungan saya. Orang-orang yang dulu datang saat saya menikah, tetapi sebagian besar tidak saya kenal. Sekarang saya jadi tahu nama mereka, pekerjaannya, kondisinya, bahkan ketika mereka sedang ada acara.
Asyiknya, ketika sensus ke tempat yang sedang ada acara, bahkan ketika tamu-tamu yang diundang belum datang, saya sudah dapat kue duluan. He he he.

Masihkah ada hikmah baru? Next.

SE 2016 SESI 7

Saat tiga minggu pertama sensus berlangsung, saya sedang sibuk-sibuknya di sekolah karena menjadi panitia Ujian Akhir Semester Genap alias Ujian Kenaikan Kelas. Saat yang sama, anak-anak les juga minta waktu ekstra untuk memaksimalkan ujian di sekolahnya masing-masing. Plus dapat order tulisan dan banyak tugas kuliah. Jadi seringkali saya baru bisa melakukan sensus sore sampai malam hari.
Masalahnya, sebagian besar warga kampung saya adalah karyawan, yang inginnya saat malam hari tidak diganggu. Jadi, tantangan untuk mengatur waktu sebaik-baiknya besar. 
Sensus malam, artinya ada yang ngajak cepat-cepat biar bisa segera melanjutkan istirahat. Ada pula yang berlama-lama ngajak ngobrol, disuguhi cemilan dan bahkan ada yang curhat segala.
Tetapi ada salah satu rumah yang memberi saya kejutan.
Saat saya ketuk pintu rumahnya, beliau bukakan pintu.
“Maaf, bapak, minta waktu sebenar. Saya petugas Sensus Ekonomi...”
“Tidak bisa!”
Langsung tuh pintu ditutup dan dikunci di depan muka saya. Hmmm... masih jam 7 malam. Orang sebelah yang sudah sepuh, pengusaha, dan punya dua pabrik saja mau menemui saya. Lah ini yang orangnya terkenal sebagai lelaki penunggu rumah malah banting pintu.
Yahh. Belum saatnya. Timing-nya tidak tepat. Atau carilah alasan lain untuk mendinginkan hati.
Yang jelas, besoknya saya sudah bisa tertawa. Akhirnya saya merasakan penolakan itu. Loh, jika mengingat tujuan awal saya mengajukan diri, pengalaman seperti ini sangat berharga.

Tentu kejutan tidak berhenti di situ. Apa kejutan yang lain? Tunggu ya.

SE 2016 SESI 6

Blok pertama saya akhiri dengan sebuah rumah yang dari jalan beraspal, memiliki jalan masuk tersendiri. Jalan masuk itu panjangnya sekitar 25 meter. Kanan kiri jalan semua rumah kosong. Syukur saya datangnya sore. Kalau malam, mungkin akan terasa horor. Dan yang terkenal dari rumah itu adalah the dogies.
Benar saja. Begitu menekan bel, datanglah dua makhluk penyambut. Tidak bawa bendera, apalagi kalungan bunga. Tetapi bawa gigi-gigi runcing dan gonggongan meyakinkan. Ukurannya juga lumayan.
Saya selama hidup tidak pernah memelihara anjing. Tetapi entah kenapa, pada episode hidup di kampus, saya sering dapat anak les yang memelihara anjing di rumahnya. Kalaupun tidak, biasanya di sekitar rumahnya banyak anjing yang dibiarkan berkeliaran. Ukurannya beragam. Mulai yang imut tapi tampangnya galak, ada yang pudel, bahkan ada yang ketika ia menunduk tuh kepalanya setinggi pinggang saya. (tinggi saya 147 cm, jadi jika anjing itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya, ia pasti lebih tinggi dari saya.)
Akibat kondisi anak-anak les itu, saya terbiasa untuk bersikap tenang meskipun ada anjing berkeliaran di sekitar saya. Anjing menggonggong, Agustina harus tetap berlalu. (Walau hati dan jantungnya sudah turun sampai perut dan siap pingsan setiap saat. Syukur tidak pernah sampai pingsan dalam kondisi itu.)
Jadi, ketika gerbang dibukakan dan saya disambut oleh Majikannya si anjing, saya tetap senyum dan bersalaman dengan beliau. Saat kami melangkah masuk rumah, kedua anjing tetap melompat-lompat dan berjalan mengelilingi saya. Sungguh, berjuta rasanya. Saya masih berusaha tetap tenang.
Pertimbangannya begini:
1.       Jika saya halau, bisa saja si anjing justru akan menghajar saya.
2.       Jika saya sengaja sentuh, belum tentu si anjing bakal ramah. Bisa saja si anjing justru akan menghajar saya.
Hasilnya sama kan? Jadi bersikap tenang saja adalah pilihan terbaik. Puncaknya, salah satu anjing mengendus tangan kiri saya. Terasa lendirnya sempat nempel. Wahhh .... ini. Masalah.
Pak Responden menyadari itu dan segera menghalau anjingnya, disuruh masuk. Kedua makhluk itu pergi dengan bersuara unik, yang di telinga saya terdengar seperti dua anak super aktif sedang bersungut-sungut.
“Kok bisa tenang menghadapi anjing?” tanya beliau heran.
“Anak les saya dulu banyak yang punya anjing, Pak.” Jawab saya kalem. Beliau tersenyum dan sensus berjalan lancar di rumah itu.
For your information, meski beliau tinggal di segmen pertama dan blok pertama saya, tetapi beliau adalah penutup dari seluruh rangkaian sensus yang saya kerjakan. Padahal sejak awal bulan saya kontak beliau, tetapi masih sibuk terus. Justru di hari terakhir, beliau yang menelepon saya, minta disensus.
Hidup memang penuh kejutan, ya.

Kejutan apalagi yang saya dapatkan? Sesi berikutnya ya.

SE 2016 SESI 5

Keluar sejenak dari masalah responden dan responnya. Saya mau mengulik tentang penampilan petugas.
Standarnya, SOP kami adalah ketika sensus mengenakan pakaian yang sopan, bersepatu, lengkap dengan rompi khusus, topi khusus, tas khusus dan ID khusus. Dalam tas masih dilengkapi dengan pensil, pulpen dan kotak pensil berlogo SE 2016. Yang tidak berlogo hanya spidol, rautan, dan penghapus. Alas menulis yang saya gunakan berupa meja dada, khusus saya beli yang warnanya match: oranye, sesuai warna segala atribut kami.
Lucunya, dalam masa kami baru mulai sensus, sempat beredar di grup WA yang saya ikuti, tentang adanya manusia-manusia sampah yang mendatangi rumah dengan kedok SE 2016. Berita ini masih dilengkapi dengan alasan disebut sampah karena yang bersangkutan melakukan penipuan, pencurian, bahkan penculikan anak.
Saya tidak tahu siapa yang pertama membuat berita ini. Yang saya dapati begitu saja beredar di medsos. Ketika saya tanyai orang yang posting, dia bilang dapatnya dari atasannya yang tentu dia tidak bakal meragukan kebenarannya.
Ya, tentu sempat dongkol juga. Lah kita ini serius  melaksanakan tugas yang bahkan oleh Inda kami disebut tugas negara. Untuk kepentingan siapa? Mereka-mereka yang posting berita kayak gitu juga kan.
Syukurlah masalah tersebut segera ditangani. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut dan semua responden menolak dengan alasan khawatir, tentu program BPS yang satu ini tidak terlaksana.
Solusi yang bisa kami sebagai petugas lapangan lakukan mudah saja. Petugas beneran datang dengan atribut sesuai SOP. Lengkap dengan surat tugas yang telah distempel RT, RW, bahkan kepala wilayah setempat. Jikapun yang ini dipalsu, petugas yang datang sebisa mungkin adalah warga setempat. Jadi kalau petugas itu macam-macam, tinggal datangi rumahnya. Jitak rame-rame he he he.
Pelajarannya, kami jadi tertib pakai atribut sesuai SOP. Kami juga rajin mendatangi RT setempat sebelum mulai sensus. Dan yang pasti, karena senyum itu SOP, kami jadi rajin senyum. Apalagi kalau berhasil mencapai target harian.
Lihat senyumku à J

Masih mau senyum lagi? Next.

SE 2016 SESI 4

Yess, beberapa hari internet saya menolak koneksi dengan komputer. Jadi, selagi bisa, mungkin akan langsung posting beberapa seri.

Sebelumnya, saya menyebutkan pilihan untuk sekali jalan langsung beres. For your information, ada teman yang memilih nyensus dulu, stiker belakangan. Memang aman, tetapi juga jadi muter dua kali. Itu masalah pilihan saja. Semua dengan plus dan minus masing-masing.
So, saya mulai mendatangi satu demi satu rumah tetangga saya. (Syukurlah, saya dapat tempat tugas di sekitar tempat tinggal saya saja.) Yang kenal, menyambut saya dengan senang hati. Yang tidak kenal, macam-macam.
Kira-kira di rumah ke 20, sebuah rumah yang sering berganti-ganti penghuni, saya dapat kejutan.
Saat datang ke sana, saya sendirian. Waktu juga sore-sore segar. Matahari jam 5 sudah mulai jingga.
Saya menyapa seorang ibu yang sedang menyapu di halaman rumah itu. Ketika melihat saya, beliau langsung bertampang panik.
“Maaf, mbak. Saya tidak punya uang. Sungguh.”
What? Dikira saya ini sales apa gitu? Atau petugas penarik iuran apalah? He he he.
Tetapi ini sudah diwarning sama Inda saya. Jadi tetap pasang senyum (walau dalam hati bilang OMG), ajak salaman, jelaskan maksud kita, tunjukkan surat tugas dan buat sederhana. (yang terakhir ini versi saya, melihat beliau nampaknya sudah cukup sepuh.)
Meski dari rumah itu hanya dapat nama, tetapi sukses lah. Setidaknya saat saya pamit, beliau melepas saya dengan senyum. Walau ini responden pertama yang su’udhon sama saya, tapi kan ya tetap responden. Harus dihadapi.
Jadi mikir. Apa sih yang salah dengan penampakan saya?

Apa ada masalah dengan penampilan? Next ya.

Bagaimana menurut kalian?

Senin, 20 Juni 2016

SE 2016 SESI 3

Profesi tambahan saya sebagai guru,ternyata sama sekali tidak menjamin saya akan bebas dari rasa nervous, bingung memulai dan tidak yakin dengan segala ilmu yang telah saya pelajari selama pelatihan.  Bahkan menjadi peraih nilai tertinggi di kelas sayapun bukan jaminan saya tidak lupa dengan segala SOP.
Tetapi tanggung jawab tetap harus dikerjakan. Jadi berangkatlah saya pada tanggal 1 Mei 2016 menuju rumah paling pojok barat daya di segmen pertama. Saya mengenakan rompi, memasang ID resmi, membawa tas penuh berisi perangkat perang dan bersepatu. Itu standar yang kami harus lakukan. Tambahannya, dua bidadari saya ikut serta. Alasannya, ingin tahu bagaimana sebuah sensus dikerjakan. Baca: bagaimana ibuku bekerja dalam sensus ini.
Rumah pertama, ukurannya cukup besar. Tetapi ternyata penghuninya hanya seorang manula dan dirawat oleh orang yang menemui saya. Tidak ada usaha di situ, jadi pertemuan berlangsung singkat dan kami bisa segera pamit. Tetapi, belum 10 meter meninggalkan gerbang, saya teringat sesuatu.
SAYA BELUM MEMASANG STIKER!

Itu masalah krusial, karena saya memilih tidak perlu memutari ulang semua blok yang saya kerjakan. Jadi sekali jalan, beres.
So, satu rumah selesai. Berikutnya, sebuah toko. Kalau yang ini, saya kenal semua penghuninya. Jadi dengan tangan terbuka saya disambut, dijawab dan bahkan anak-anak dikasih kue. Rejeki anak solihah.
Rumah-rumah berikutnya? Masalah-masalah berikutnya?

Sabar ya.

Sabtu, 18 Juni 2016

SE 2016, Sesi 2

Profesi utama saya adalah ibu rumah tangga, yang mengurus keluarga kecil kami yang terdiri atas seorang ayah, seorang ibu dan dua putri. Di luar itu, saya berkesempatan berbagi ilmu sebagai guru tidak tetap di SMP Tamansiswa Batu dan di SMK Negeri 3 Batu. Walau di SMP sedang off agar memiliki lebih banyak waktu untuk pengembangan diri. Di masa off itu saya mendapatkan kesempatan menjadi PCL SE 2016.
Seperti saya ceritakan sebelumnya, kami lolos tes tulis dan wawancara, dan kemudian masuk ke masa pelatihan. Tidak panjang, Cuma 4 hari efektif, dengan fasilitas inap di hotel. Maksudnya agar kami bisa fokus dan materi terserap maksimal. Rencana kemarin mau langsung ke penerjunan, tetapi nampaknya tentang pelatihan juga perlu saya ulas ya. Jadi itu dulu deh.

Sepanjang masa pelatihan, saya banyak berkenalan dengan teman-teman baru. Berbagi pengetahuan, karena ternyata sebagian dari kami sudah pernah mengikuti sensus yang diadakan BPS sebelumnya. Setidaknya, dengan menggali pengalaman teman-teman tersebut, saya jadi tahu harus bagaimana nantinya menjalankan tugas. Mereka yang pernah ikut saja banyak bingung dengan SOP dan peraturan SE 2016. Apalagi kami yang belum pernah terlibat. But it’s oke. Karena pelatihan diakhiri dengan semacam try out. Kami diterjunkan ke lapangan, untuk melakukan praktik dan langsung dievaluasi oleh instruktur. Dengan cara ini, jadi punya gambaran nyata kelak bagaimana kami akan bekerja. Bahkan sudah langsung ketahuan juga teman-teman yang sudah benar-benar dhong dan yang mungkin kelak akan mengalami banyak hal seru. :D


Nah, ketika terjun beneran, bagaimana rasanya? Apakah prediksi selama try out itu menjadi nyata? Tulisan berikutnya, ya. 

Kamis, 16 Juni 2016

SE 2016, sesi 1

Insya Allah, saat ini status saya sudah selesai dengan tugas sebagai Pencacah Lapangan dalam Sensus Ekonomi 2016 (SE 2016).
Sebagai kegiatan sensus besar pertama, tentu rasanya ruar biasa.
Insya Allah, selama beberapa hari ini saya akan fokus posting tentang Sensus Ekonomi 2016.
Saya tidak akan menjelaskan alasan diadakannya sensus ini, tujuan dan segala peraturannya. Itu kan sudah ada di web-nya BPS.
Tetapi kalau kisah tentang bagaimana kami yang di lapangan, belum tentu termuat semua di portalnya BPS. Fyi, 1000 pencacah lapangan (PCL) bisa jadi memiliki lebih dari 10.000 kisah unik. Nggak percaya? Ikuti saja kisah manusia yang satu ini.

Saat mendaftar sebagai PCL, saya bertemu dengan banyak calon lain, dengan berbagai latar belakang, berbagai daerah asal dan alasan. Ada yang ibu rumah tangga, ada yang mahasiswa lulus tapi belum kerja, ada GTT (macam awak ni), ada pak RT dan macam-macam lagi. Sepertinya, ini sebuah profesi yang di dalamnya terkandung pula bermacam profesi yang lain. *Jika profesi sebulan ini boleh saya sebut profesi lho ya.
Ada teman yang tujuannya semata tergiur honor lumayan untuk kerja sebulanan, ada yang ingin cari jodoh (fiuhh), ada yang memang langganan menjadi petugas sensus, ada yang macam-macam lagi.
Saya pribadi, mengajukan diri utamanya untuk mengetahui bagaimana sensus program pemerintah dilaksanakan. Sebagai guru Matematika SMP, Statistika adalah salah satu pokok bahasan kami. Pencacahan adalah salah satu kegiatannya. Tidak all out rasanya jika saya sendiri belum pernah terjun sebagai petugas. Jadi saya niatkan menjadi PCL sebagai ajang mencari tahu 'bagaimana'. Masalah nantinya setelah tanggung jawab selesai, dikasih honor sama mitra saya, itu bonus.

Setelah tes tulis, wawancara dan pelatihan, kemudian diresmikan dengan sebuah prosesi pelepasan oleh Wakil Walikota Batu, sah sudah kami menjadi mitra BPS sebagai PCL.

Next, saya akan tuliskan pengalaman-pengalaman unik sebagai PCL. Tidak hanya yang berhubungan dengan manusia, tetapi juga dengan makhluk-makhluk yang lain. See ya.