Jumat, 27 Maret 2015

Vertical Garden (7)

Dalam setiap aktivitas, kegalauan mungkin saja melanda. Biasanya ketika mendapati kenyataan tidak sejalan dengan keinginan. Bisa juga karena banyaknya pilihan dan semuanya tidak bisa atau malah harus dipilih. Dalam usaha membuat vertical garden, saya juga mengalami hal serupa.
Sebagai guru merdeka, saya memang bebas untuk tidak menetap di satu wilayah saja. Sejauh itu, dengan berbagai pemakluman dan percaya dengan track record, semua bisa berjalan bersamaan. Tetapi kondisi ini anomali ketika ujian datang. Dipercaya menjadi pengawas di luar, tentu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Resikonya, tidak bisa check pagi tiap hari.
Syukurlah, saya memiliki murid-murid yang bersemangat. Dengan dipesani agar menyiram vertical garden setiap pagi, tanpa perlu diingatkan dan diawasi, mereka bergantian melaksanakan amanah. Meskipun hanya beberapa hari sekali bisa mampir, itupun siang hari, saya masih bisa mendapati tanaman-tanaman itu bertahan hidup dan vertical garden bertambah hijau. Walau mungkin ada beberapa media yang terlewati air, sehingga harus berakhir menyedihkan, setidaknya masih banyak bagian lain yang bertahan dan terus tumbuh.

Terima kasih murid-muridku. Kalian hebat.

Vertical Garden (6)

Vertical garden kami mulai nampak hijau. Tanaman sawi mulai terlihat akan bisa dinikmati dalam sajian mie beberapa saat lagi. Kuncup bunga ungu mungil di tengah dedaun Velces mulai muncul. Sulur-sulur gambas mencari wilayah yang lebih luas. Kacang hijau tegak setinggi jengkal. Cabe dan kacang panjang nampak segar.
Pujian mulai diberikan. Bahkan dukungan berupa sumbangan tanaman hias mulai berdatangan. Saat pengawas datang, tentu bisa langsung melihat perubahan wajah sekolah. Apalagi sering terlihat di pagi hari anak-anak bergantian menyiram satu demi satu tanaman (berikut teman yang lokasinya terdekat) dengan sprayer. Itu pemandangan yang indah. Sarapan pagi paling menyegarkan he he he.
Beberapa orang memberikan saran agar memunculkan vertical garden kedua di tempat yang memungkinkan. Saya bersyukur upaya ini diapresiasi. Tetapi jujur saja, menjaga kelangsungan satu vertical garden saja mengharuskan piket pagi enam hari seminggu. Dengan kondisi kami masih belajar dan pelakunya 4L, ya cukup menantang. Jika ingin ada vertical garden kedua, kami harus menemukan cara yang lebih efektif.  
Jadi jawaban saya sederhana saja.
“Satu ini dibuat subur dulu, sampai panen. TOGA yang terselip dapat tumbuh dengan baik dan dapat digunakan. Setelah itu baru perluasan wilayah.” Sederhana saja.

So, sampailah kini pada persimpangan ketika kesibukan di luar harus berjalan beriringan dengan kelangsungan hidup vertical garden. Apa yang terjadi? Besok ya.

Kamis, 26 Maret 2015

Vertical Garden (5)

Merancang vertical garden, sudah. Membuat wadah dan media, sudah. Menanam biji, sudah. Menemukan alasan bertanam organik, sudah. Saatnya mengamati benih yang telah ditanam.
Benih yang telah ditanam sebaiknya disiram dengan menggunakan sprayer lembut. Ini sesuai petunjuk pada beberapa buku. Tidak ada alasan spesifik disebutkan, tetapi menurut saya, hal ini untuk mengurangi kemungkinan benih hanyut akibat kebanjiran siraman. J Kebayang dong nasib biji sawi yang bulat, dengan diameter tidak lebih dari 1 mm, atau lebih kecil lagi biji kemangi dan biji bayam bila mereka digelontor dengan air.
Sawi, gambas dan bayam, tidak sampai dua minggu sejak ditanam sudah mulai bertunas. Biji cabe, bertunasnya tergantung lokasi. Di media yang rajin kena air, dengan cepat ia bertunas dan mulai berdaun. Saya sempat ragu dengan benih sawi yang saya tanam. Dua helai daun pertama sama sekali tidak mirip daun sawi. Karena menurut buku, sawi baru siap menjadi bibit setelah tumbuh empat daun, maka saya bersabar dulu. Daun ketiga yang kemudian muncul baru mirip dengan sawi. Barulah saya lega. Saya tidak salah benih. J
Dua minggu kemudian, daun keempat sudah menyusul. Media tempat biji sawi tumbuh nampak mulai sesak. Menurut guru olahraga kami, ini saatnya memindahkan. Atau menurut istilah yang saya pelajari di Pramuka Saka Wanabakti, ini disebut penjarangan. Yaitu pengurangan populasi agar pertumbuhannya lebih maksimal. Penjarangan hanya dapat kami lakukan pada sawi, cabe dan gambas. Ini karena benih yang lain tumbuh kurang sehat, nampaknya.
Penjarangan kami lakukan dengan memindahkan anggota populasi ke media baru. Kami menggunakan wadah polybag dengan diameter sekitar 20 cm dan tinggi sekitar 30 cm. Media yang digunakan masih campuran sekam bakar, tanah dan pupuk kompos organik yang telah matang dengan rasio 1 : 1 : 1. Harga polybag memang tidak terlalu mahal. Setiap kilogram untuk ukuran di atas dapat diperoleh dengan harga Rp 25.000,00 yang isinya bisa 100 kantong. Nah, yang terasa berat justru mengisinya dengan campuran media. Terlebih, tanah bebas di sekitar kami tidak banyak. Sebagian besar sudah diisi tanaman hias dan pepohonan atau sudah dilapisi paving. Selain polybag, kami juga memanfaatkan bekas kemasan minyak goreng isi ulang. Bentuknya kan sudah mirip polybag. Voilla, berderetlah sawi, gambas dan cabe dalam wadah hitam atau kuning di bawah vertical garden.
Dalam media yang baru, tentu saja setiap individu tidak lagi berebut nutrisi dan tumbuh kerdil. Dibantu sinar matahari dan air yang cukup, jumlah daunnya terus bertambah. Tingginya melesat. Sulur-sulur gambas mulai membelit ke sana kemari mencari pegangan. Semoga terus demikian. Semata agar mereka sempurnya menjalani tugasnya.
Mengamati pertumbuhan tanaman itu setiap pagi, rasanya menenangkan sekali. Ini sangat mirip dengan saat-saat yang saya lewatkan untuk mengamati pertumbuhan dan pertumbuhan kedua buah hati saya dan anak-anak di sekolah. Teruslah tumbuh. Semoga menjadi makhluk hidup yang kuat, besar dan bermanfaat, sesuai tugas kehidupan yang diemban dari Sang Khalik.

Apa masalah berikutnya? Lihat besok.

Rabu, 25 Maret 2015

Vertical Garden (4)


Konsep vertical garden kami adalah organik, maka sejak persiapan sampai panen harus menggunakan cara-cara pertanian organik. Sebelumnya, yang saya tahu tentang pertanian organik adalah produk sayuran yang dihasilkan bolong-bolong karena tidak diperkenankan menggunakan insectisida buatan. Justru bolongnya itu yang menjadi ciri khas sayuran organik. Betulkah?
Dalam mencari informasi tentang pertanian organik, salah satu referensi saya adalah buku “Bertanam Sayuran Organik bersama Melly Manuhutu”, yang ditulis oleh Melly Manuhutu dan Bernard T. Wahyu W. Buku ini diterbitkan oleh Agromedia Pustaka.
Menurut buku itu, konsep pertanian organik adalah sistem pertanian yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia (pengantar redaksi). Dalam pelaksanaannya, tahun pertama bertani organik, pada lahan yang sebelumnya menggunakan sistem pertanian biasa, belum bisa dikatakan organik. Lahan harus mendapat perlakuan khusus dan digunakan untuk bertanam organik beberapa siklus, sehingga kandungan bahan kimia dalam tanah terus berkurang. Setelah lulus uji laboratorium tentang kandungan bahan kimia sesuai standar, barulah seratus persen pertanian organik bisa diterapkan dan produk yang dihasilkan diakui sebagai produk organik. Tidak mudah, memang. Tetapi lihatlah dari segi manfaatnya.
Menurut Melly, sayuran organik lebih enak dan renyah. Bahkan wortelnya lebih manis. Meskipun kebanyakan daun sayuran organik berlobang bekas gigitan ulat, justru lobang-lobang ini menjadi trade mark. Unik juga ya. Maka kami juga harus menerapkan hal ini di vertical garden. Tanda-tanda bakal mendapat pengalaman ini saya rasakan waktu melihat ada kupu-kupu terbang di sekitar vertical garden. Selang beberapa hari, saat menyiram sawi, saya menemukan seekor ulat mungil yang terpaksa diberangus sebelum menghajar seluruh tanaman. Begitu pula kutu daun di pucuk tanaman cabe yang masih mungil dan gejala daun cokelat pada tanaman kacang. Nah, berarti kehadiran mereka harus senantiasa diperhatikan. Walau, untuk sementara kami belum tahu cara memberantas dengan musuh alaminya, kami cukupkan dengan menghilangkan bagian tanaman yang diserang.

Kalau soal produk yang lebih enak, lebih renyah dan lebih manis, ya kita lihat beberapa bulan mendatang. Next edition, saya akan berbagi tentang penjarangan tanaman. Apakah itu? Besok ya.

Selasa, 24 Maret 2015

Vertical Garden (3)

Minimnya pengetahuan saya tentang dunia tanam-menanam sangat terbukti dalam upaya melangsungkan vertical garden. Saya tidak pernah tahu berapa lama biji kacang panjang akan bertunas. Tunas yang muncul, mana yang tanaman liar dan mana tumbuhan yang kami harapkan, saya hampir tidak dapat membedakan. Kalau rumput, saya tahu pasti. Apalagi kami yakin sekali dalam vertical garden kami tidak menanam padi sama sekali.
Benih yang saya sediakan pada awalnya bukan produksi pabrik dengan keterangan lengkap. Benih itu saya beli di sebuah lokasi wisata, dikemas dalam plastik panjang. Kira-kira dalam satu paket ada selusin jenis tanaman, yang hanya dilengkapi nama tumbuhan. Ini cukup menyulitkan. Terlebih ketika bekerja, kami tidak ingat untuk memberi label pada wadah. Jadi kami sepakat bahwa kita tunggu saja sampai berbuah. Nanti juga ketahuan tanaman apakah itu. Praktis dan entah sampai kapan penantian kami he he he.
Berdasarkan kondisi di atas, saya mencari informasi bagaimana mendapatkan benih tanaman. Dari seorang teman saya mendapat referensi web penyedia benih tanaman, mulai bebungaan sampai sayuran aneh-aneh macam tomat pelangi. Harga memang tidak terlalu mahal, tetapi kemasannya kecil dan masih akan ditambah ongkir. Nah, ini dia. Lalu saya diskusi dengan guru olahraga yang kebetulan orang tuanya petani. Darinya saya tahu bahwa di pasar kota kami ada toko-toko pertanian yang menyediakan beraneka benih. Dan ini terbukti. Beraneka benih sayuran dan buah dijual dalam kemasan sachet. Isinya cukup banyak dan harganya juga relatif terjangkau. Karena masih belajar, saya memilih tumbuhan yang paling mudah dan pasti digunakan, yaitu sawi mie ayam dan kangkung. Keduanya cukup diperoleh dengan harga total Rp 21.000,00.
Pada kemasan telah lengkap keterangan bahwa benih dapat ditanam langsung pada media, lama tumbuh sampai pada kelembaban dan keasaman yang dibutuhkan. Ini luar biasa. Melengkapi informasi ini, saya menyempatkan mencari pinjaman buku-buku pertanian, terutama pertanian organik di perpustakaan kota. Dari sana saya tahu bahwa sawi dan kangkung butuh waktu sekitar 2-3 bulan saja sampai panen.

Sampai di sini, masalah benih telah berhasil kami lalui. Tentu saja masalah selanjutnya bermunculan. Salah satunya ketika ada yang bertanya, pertanian organik itu yang bagaimana. Kita bahas esok hari, ya.

Minggu, 22 Maret 2015

Vertical Garden (2)

Sebagai manusi pembelajar dan setahun belakangan saya fokus pada Multiple Intelligences, saya memahami dan hasil tes (nggak resmi) saya adalah cukup rendah dalam kecerdasan naturalis. Ini terbukti dengan selama bertahun-tahun hidup saya hampir tidak pernah berhasil merawat tanaman, apalagi punya cita-cita memiliki hewan piaraan. Mak jleb he he he.
Tetapi khusus untuk urusan Vertical Garden, saya berpikir terbuka bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang punya tekad kuat untuk membantu kelangsungan hidup makhluk hidup lain. Selain itu, saya tahu bahwa kecerdasan majemuk juga dapat berubah peringkatnya. Bukan tidak mungkin kecerdasan naturalis saya akan meningkat dengan keukeuh merawat Vertical Garden.
Maka saya belajar bahwa membuat wadah media untuk sebuah Vertical Garden ada beragam cara. Terlebih botol-botol bekas yang kami manfaatkan bermacam-macam. Ketika bekerja dengan peserta didik, kami biarkan mereka berkreasi dalam memotong wadah. Ada yang diposisikan vertical, ada yang mendatar, ada yang lubangnya tunggal, ada pula yang kanan kiri.
Media tanam yang kami gunakan adalah campuran tanah, pupuk organik ‘jadi’ dan sekam bakar. Ketiganya dicampur dengan komposisi 1 : 1 : 1. Ini saya pelajari dari bapak guru Pendidikan Lingkungan Hidup. 
Selanjutnya, campuran dimasukkan ke dalam wadah sampai hampir penuh. Lalu di bagian tengah, anak-anak menanam bibit tumbuhan. Kami tidak pilih-pilih. Bibit cabai, kacang panjang, kedelai, gambas, binahong sampai pepaya juga ditanam di media. Setelah wadah seisinya siap, diikat pada rangka Vertical Garden dengan menggunakan tali putih atau kawat kecil. Ritual ini diakhiri dengan menyiram menggunakan sprayer kecil. Namanya anak-anak, selesai dengan penyiraman tanaman, mereka akan lanjutkan dengan menyiram temannya. Yahhh ... baiklah.

Ternyata, masih juga tidak semudah itu, saudara-saudara. Mengapa? Tunggu edisi berikutnya.

Vertical Garden

Salah satu program utama saya adalah mewujudkan sebuah Vertical Garden. Mengapa Garden? Karena sekolah kami sendiri membawa nama versi Indonesia dari Garden. Mengapa  Vertical? Karena taman yang biasa sudah ada. Itupun sudah menjadi tanggung jawab bapak Pramubakti. Mengapa Vertical Garden? Karena saya anti mainstream  :D. Selain itu, bersama guru Pendidikan Lingkungan Hidup dan guru Olahraga, kami ingin anak-anak tahu memanfaatkan barang bekas dan sekaligus mengenal cara hidup sehat dengan konsumsi sayuran organik. Dan kebetulan sekali, semester itu juga turun semacam anjuran dari Pemerintah Kota melalui Dinas Lingkungan Hidup agar setiap sekolah memiliki taman yang memuat sistem pertanian organik. Jadi ‘pas’ sekali.
Maka dengan dukungan dana dari Pemerintah Kota melalui bendahara, ide pemakaian rangka besi dari Kepala Sekolah dan eksekusi oleh bapak Pramubakti, diwujudkanlah sebuah Vertical Garden. Sederhana saja. Hanya menghubungkan dua buah tiang beranda dengan batang-batang besi berdiameter 0,5 cm. Nantinya, pada batang-batang itu digantung botol-botol plastik bekas yang diisi dengan media tanam.

Nah, ternyata Vertical Garden tidak sesederhana itu. Mengapa? Ketemu lagi di edisi berikutnya.