Rabu, 17 September 2014

Kurikulum 2

Nampaknya memang indah. Selalu datang pagi, sukanya nyuruh-nyuruh guru masuk kelas, keputusannya mutlak dalam penjadwalan dan sebagainya.
Tetapi itu baru permukaannya. :D
Ternyata, menjadi kurikulum itu rumit sekali. Apalagi dengan kurikulum yang baru ganti macam ini.
Mutlak harus banyak belajar tentang pelaksanaan KBM yang fun sesuai yang disyaratkan kurikulum baru. Penilaian, mulai dari rubrik dan sebagainya.
Belum lagi urusan kepegawaian yang ribed gila. Padahal ini cuma belasan orang saja. Dengan kepentingan dan urusan masing-masing, membuat kurikulum selalu harus sudah stand by 30 menit sebelum bel pertama. Kadang harus ditegakan untuk meninggalkan sekolah karena tugas yang lain, sementara ada kelas yang tidak ada gurunya. Sulit, tetapi beberapa kondisi memang mengharuskan begitu. Kalaupun tetap berada di sekolah, hampir tidak bisa berhenti sampai bel pulang tiba. Ada saja yang harus dikerjakan.
Tetapi pagi ini, ada hal baru yang saya temukan. Yaitu urusan kepegawaian. Saya pribadi menyadari bahwa manusia perlu biaya untuk hidup. Jadi yang terjadi saat ini, ketika ada aliran dana yang terhenti, maka mengajarnya menjadi kurang bersemangat. Bagi kurikulum, nyesegnya itu di sini :D #sambil mengelus dada.
Tentunya perlu kerjasama pihak manajemen agar tidak terjadi sendatan aliran dana. apalagi yang berurusan dengan pegawai, apalagi kalau pegawainya itu GTT. Bendahara tidak boleh telat membuat laporan, Kepala Sekolah tidak boleh telat mengontrol orang-orang yang berada dalam asuhannya, Kurikulum juga tidak boleh telat mendorong terwujudnya sekolah yang asik.


Senin, 01 September 2014

Buku Keren 1

Judul buku                          : Totto Chan’s Children
Penulis                                 : Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit                              : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman               : 322 halaman
Tahun terbit                       : cetakan kelima, 2013

Sebenarnya sudah lama naksir buku ini. Secara buku sebelumnya: “Totto Chan, Gadis Kecil di Jendela” sangat menarik dan tidak pernah habis saya baca. Lagi. Lagi. Dan lagi. Tetapi, karena panjangnya daftar beli buku dan baca, dan jujur, tidak mudah menemukan buku ini di pasaran. Maka  ketika masih punya jatah beli buku dan stok ada, langsung saja saya beli. Waktu itu di Toga Mas Margorejo, Surabaya. Tepatnya di hari terakhir kuliah, yang kemudian saya akan pulang langsung ke Malang.
Begitu dapat tempat duduk di bis dari Bungurasih, saya langsung buka plastik segel. Masuk tol, mata saya sudah mulai penuh melewati bagian Prolog. Sebenarnya saya tidak masalah disebut drama queen, tetapi saya juga tidak mau dicurigai teman-teman satu bis, maka saya tahan kuat-kuat air mata dan terus membaca.
Negara demi negara saya lalui. Tanzania. Nigeria. India. Mozambik. Sampai Bosnia – Herzegovina. Semua diceritakan dengan runtut dan detil, terutama tentang kondisi anak-anak di masing-masing negara. Beberapa foto menguatkan kisah yang dialami Totto Chan dalam tugasnya sebagai duta UNICEF di kurun waktu 1984 sampai 1996.
Ucapan-ucapan jujur dari warga setempat juga tak lupa dicatat oleh Totto Chan. Salah satunya diucapkan oleh Kepala Suku desa kecil tak bernama di Tanzania: “Orang dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka, tapi anak-anak hanya diam. Mereka mati dalam kebisuan, di bawah daun-daun pisang, memercayai kita, orang-orang dewasa.” Saya tidak bisa bayangkan jika saya yang mendapatkan kata-kata seperti itu, setelah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kurang gizinya anak-anak di Tanzania.
Kekeringan. Kurang gizi. Penyakit. Kelaparan. Kematian. Foto anak-anak yang haus kasih sayang. Anak-anak pengungsi yang sangat kurus tengah mengantri makanan. Semua ada di buku ini. Saya disadarkan betapa beruntungnya saya selama ini tinggal di negara merdeka, dan sejauh saya hidup dalam kondisi aman. Walau dalam kesederhanaan, saya hampir tidak pernah kekurangan makan. Walau dengan perjuangan berat, saya tetap berkesempatan mendapatkan pendidikan dan kini saya membaktikan hidup saya di dunia pendidikan.
Buku itu, saya akan perkenalkan kepada murid-murid saya. Agar mereka tahu betapa beruntungnya mereka. Sangat disayangkan bila mereka tidak memanfaatkan baik-baik kesempatan belajar dan hidupnya. Semoga dengan tulisan ini, semakin banyak orang mengetahui buku bagus yang begitu menginspirasi. Begitu menyadarkan. Begitu menyentuh. Dan berisi fakta.  Semoga anak-anak di negeri manapun kini dapat hidup dengan aman dan layak. Semoga mereka bisa membuat dunia masa depan menjadi lebih baik.

Perjalanan dengan bis berakhir. Saya akan pulang. Membawa oleh-oleh –yang saya pikir sangat baik- bagi kedua putri saya. (Agustina Dewi – Mengenang perjalanan 16 Mei 2014)