Rabu, 21 Desember 2016

Desember Ceria

Desember ceria. Tidak bisa tidak.

Belum reda euforia Simposium GTK Nasional di Jakarta, belum hilang capeknya, belum terganti kurangnya jatah tidur, saya sudah harus berangkat lagi menuju Yogyakarta mengikuti Kongres Nasional Tamansiswa.

Kali ini berangkat naik travel. Dengan sopir yang wow dan sukses membuat kami siaga satu sepanjang perjalanan. He he.

Kegiatannya berlangsung lancar. Tidak hanya mengikuti kongres, saya berkesempatan mengikuti peringatan hari Difabel bersama SLB Negeri 1 dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Sambil terharu, saya ikut longmarch bersama malaikat-malaikat kecil dan guru-gurunya. Juga menyaksikan aksi mereka di atas panggung, di Gedung Kotak Taman Pintar. Ada yang menyanyi, menari, baca puisi, pantomim, macam-macam dah.
Inginnya sih, halan-halan juga. Tetapi dengan keterbatasan waktu, kami hanya sempat nyambangi Candi Prambanan, Keraton Ratu Boko, Malioboro, Pasar Beringharjo, dan museum Jenderal Sudirman. Khusus halan-halan Yogya ini, saya laporkan di tulisan yang lain yak.

Pulang dari Yogya, saya berkutat kembali dengan UAS dan rapot. Alhamdulillah, semua selesai dengan baik. Saat pembagian rapot, wali murid di kelas saya juga hadir 100%, sehingga semua hal ihwal anak-anaknya bisa saya sampaikan langsung.

Lalu, suatu sore saya mengambil uang di ATM. Baru sadar jika ada keanehan saldo. Memang sepulang dari Jakarta, saya bisa menabung sebulan honor. Tetapi seharusnya saldo saya tidak segitu.
Setelah print buku, ternyata itu hadiah penulisan KTI. KTI ini tadinya untuk mengapresiasi siswa-siswa saya di salah satu kelas. Ternyata mendapat apresiasi nilai 95 di forum Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Terbuka dan layak mendapatkan hadiah uang sebesar 3 bulan honor saya mengajar di SMKN 3 Batu he he.
Wow, tidak nyangka. Menulis telah membawa saya mengalami banyak hal baru, membawa saya ke banyak tempat baru.
Begini ini jadi ingat nasihat teman saya Eryunpas Setya Nurlaksana. Keep writing, that your wings to fly.

Jumat, 25 November 2016

First Flight


Judulnya  agak aneh untuk ukuran manusia jaman sekarang. But, inilah saya. Memang belum pernah, mau bilang apa? He he he. Yang mau ketawa, ini saatnya.

Ceritanya, hari Selasa malam, tanggal 22 November 2016, saya dapat ucapan selamat melalui grup maupun japri dari teman-teman. Heran juga. Ada apa? Tidak sedang ulang tahun, melahirkan, atau peristiwa lainnya.
Ternyata, ucapan selamat itu untuk karya saya yang terpilih sebagai salah satu dari 200 finalis  Simposium Guru dan Tenaga Kependidikan 2016. Fyi, ada 3.285 orang yang mengirimkan naskah. Lebih heboh lagi karena dari kota kami hanya satu orang saja.
Perasaan pertama, jujur saja: "HOROR". Sebab ini akan jadi kali kedua saya ke Jakarta. Sedangkan kali pertama ke Jakarta sudah menemukan betapa tidak ramahnya sisi Jakarta yang saat itu saya datangi. Hmmph. Tetapi kita kan sebaiknya nggak jadi orang yang terus-menerus terpaku pada masa lalu. Pandanglah ke depan. Jalan saja. Jika perlu berlari.
So, dapatlah tiket pesawat.
Saya tiba di bandara Abdul Rahman Saleh, Malang jam 5.30. Bukan karena pesawatnya jam 6 pagi, tetapi karena yang ngantar bisanya sepagi itu. Dan karena saya ini kan anak kesayangan, jadi beliau tidak rela saya diantar orang lain.
Kebayang nggak sih, nervousnya. Dari jam 5.30 sampai take off jam 8.30, ada kali saya 7 kali ke toilet. Padahal juga tidak minum sejak pagi. *tutup muka pakai selimut
Saat sudah di pesawat, rasanya ingin keluar lagi aja. Naik bis. Tetapi 15 jam dengan bayar lagi atau lawan 1 jam 15 menit yang sudah terbayar, tentu lebih bijak untuk menenangkan diri.
Getaran pesawat sampai rasa mual saat take off sudah membayang. Tetapi ....
Ternyata tidak seheboh itu  saudara-saudara.
So, saya berusaha tetap terjaga sepanjang perjalanan, untuk mengetahui seperti apa penampakan awan dari atas sana, getaran tipis ketika pesawat menembus awan, sensasi ketika pesawat miring, sampai getaran ketika landing.
Alhamdulillah, tiba juga di Bandara Sukarno Hatta. Sudah disambut kawan lama, pula.

Senin, 15 Agustus 2016

Dreams has Change My Life


As a Javaneese girl, I believe that dreams sometimes can be a warning. This warning can be for a good condition or bad condition. One of the warning in Javaneese tradition is that when we dream bite by a snake, it means that we’ll meet our soulmate. Someone that’ll become our husband or wife.
When I was 21, I have a boyfriend. He’s a policeman. We’ve become a couple for 4 years. It’s a long time. My family and his has thought we’ll get marry someday. We have that vision, too. We only need to wait I finished my college and he got a settled condition in his troops.
As a policeman, he sent to many places with differences duties. But as long as we can send letter to each other, there are no problem. But one day, I realize that he hasn’t send me any news for almost 2 years. I can’t contact him. No phone calls. Nothing. Of course, I feel confused.
One night, I dream he came to me by a helicopter. Of course he looks so cool. We got marry and then we have a baby. But then, there are peoples who come to our home and hunt him. I trapped in that war, so I have to run away and save our baby.
It’s a nightmare for a girl who wait for her boyfriend. But thank’s god it’s just a dream. I wake up and pray the best for us.
A few month after that, my father called me. He said that my boyfriend make a phone call to our home, but my father find that my boyfriend has changed. He told my father that he allow me to get marry if I found someone else. That’s a very bad news for my father. I cried for so long. I feel so upset about him. 4 years and just that? I think the nightmare is a warning for this bad news.
At that down condition, I met another boy. He’s so serious. He didn’t ask me to be his girlfriend, but he asked me to be his wife. It’s so ... unpredicted because I know him since I become a college student. As long as that 2 years, nothing happen. So, I got confused.
In the confused condition, I got another dream. This time, I stand in front of cave. In the cave, there is a snake -big snake- that sleep. The snake done nothing although I think I’ve been standing there for so long time. So I walk away and found another cave. In the second cave, there is a small long snake that suddenly bite me. The hurt feel so real so I wake up and cry for a while.
After get that dream, I let my boyfriend go. I lost contact with him and never try fo find him anymore. I know I ever love him. But he has changed. So, I will let him free. This decision is not easy, but I think I got to do it because I want to control my life. I want to be happy. And I don’t want to be treated like that. So, he’s free to choose his way.
And the boy who asked me to be his wife? He’s the father of my 2 daughters now. He’s kind and understand me. He always do his best for us. If I remember how the first boyfriend treat me, I thank’s God that I found my husband. If I choose him, maybe I won’t get all my achievement today.

Dreams have change my life. I thank’s God for those sign and warning. 

Kamis, 11 Agustus 2016

Aroma Kasih


Sejak masih ingusan, setiap menjelang Subuh saya dibangunkan oleh aroma kasih dari mulut mama. Jika saya sedang fit, maka dengan membaui aroma panggilan sayang itu saya sudah bisa langsung bangkit. Tetapi saat sedang tidak fit, maka tidak hanya berkali-kali aroma panggilan sayang yang nadanya semakin tinggi, tetapi dilengkapi dengan gempa kecil, bahkan gerimis lokal.
Saat pulang sekolah, sekitar jam 2 siang, saya disambut pelukan disertai ciuman beraroma yang sampai sekarang hanya milik mama. Aroma itu terus menyertai saya makan siang, istirahat, bahkan saat bersiap untuk mengaji, dan berangkat ke tempat les. Sepertinya saya juga masih mendapati aroma serupa menjelang keberangkatan berjamaah Maghrib. Aroma itu menghilang saat pulang selepas Isya dan menjelang tidur.
Semakin besar, saya makin tidak bergantung pada aroma panggilan sayang. Saya telah mendapatkan pola bangun yang baik, yaitu ketika alarm dalam kepala saya berbunyi karena syaraf muda di hidung saya membaui aroma kasih yang khas dari dapur. Saya juga telah paham bahwa aroma khas itu timbul dari serbuk hitam pahit, yang diseduh dengan air panas. Bila dinikmati bersama papa sebelum matahari terang, mama menambahkan gula. Tetapi di sisa waktu minuman ini dinikmati dari paduan dua bahan saja.
“Mengapa mama minum begitu banyak kopi?” tanya saya suatu hari.
Mama tidak bersegera menjawab. Tetapi berlama-lama menatap kedua mata empat belas tahun milik sulungnya. Saya tidak paham apa yang beliau cari dari pasangan mata lelaki kecil ini. Saya makin tidak paham ketika mama tersenyum.
“Sebenarnya tidak banyak. Mama tahu takaran maksimal kafein yang bisa ditoleransi tubuh mama, juga berapa jumlah wajar gula. Mama perlu kopi untuk membuat mama tetap bangun dan bisa mengurus kalian berempat sebaik-baiknya.”
“Apakah kami berempat sangat merepotkan sampai mama perlu energi dan waktu begitu banyak?”
Mama tersenyum sambil menghela nafas.
“Saat ini, Dean sudah bisa bangun sendiri, cuci baju sendiri, merapikan kamar sendiri, bahkan bisa bantu mama bersih-bersih rumah. Tetapi ketiga adikmu? Chica baru berhasil rutin merapikan tempat tidurnya dan bangun pagi. Anne baru bisa rutin mandiri mandi dan makan. Dedek belum mandiri semua.”
Aku 14 tahun, Chica 10 tahun, Anne 8 tahun, dan Dedek 3 tahun. Mama sukses membuatku bungkam untuk sibuk dengan aroma berpikir.
*****

“Mas, sekarang giliran mas jagain mama. Dedek mo kuliah.” Suara Dedek terdengar panik di telingaku.
“Ya, baiklah. Kamu tinggal saja dulu. Setengah jam lagi mas tiba.” Jawabku.
Tanpa salam Dedek menutup kontak.
Kulanjutkan konsentrasi pada kemudi dan jalanan di depanku. Rumah sakit tinggal beberapa belokan lagi. Sepuluh menit seharusnya sudah lebih dari cukup. Dua puluh menit sisanya akan kugunakan untuk perjalanan dari area parkir menuju ruang perawatan mama. Mungkin masih akan ada waktu untuk mampir ke kantin rumah sakit dan mencecap secangkir kopi yang tak sempat kuseduh tadi pagi.
Tiba di kantin, antrian kios kopi menggila. Rupanya pagi yang suram ini membuat banyak orang membutuhkan asupan kafein. Aku bukan jenis orang yang adiksi kafein. Hanya merasa hariku kurang lengkap tanpa dimulai dengan secangkir kopi hitam dan panas. Aku masuk antrian. Beraneka rupa para pengantri ini. Ada yang berdiri sambil sibuk menelepon soal pengiriman barang. Ada yang sibuk berputar-putar sambil mengarahkan layar HPnya. Mungkin tengah bervideo call dengan seseorang yang sangat perlu memastikan kondisi lingkungan. Ada yang terus menerus memelototi layar, mungkin sedang menangkap monster. Ada pria tinggi besar tepat di depanku yang terus menerus menguap dan mengucek matanya.
Tengah berada pada urutan ke sepuluh, seorang bocah menghampiri pria itu.  
“Bapak, ayo cepat. Ibu sesak lagi.” Kata si bocah sambil menarik-narik tangan orang yang disebutnya bapak. Pria itu sejenak nampak menimbang-nimbang antara menghilangkan penat dan kuyu wajahnya melalui asupan kafein, dengan bersegera mendatangi istrinya.
“Kan masih ada mbak Darti. Kemarin sesak tidak lama, terus baik lagi. Bapak beli kopi sebentar saja.” Kata si Bapak yang jelas nampak mengantuk dan lelah luar biasa. Si bocah menatap si bapak dengan tatapan nanar. Lalu mengangguk dan segera berlari pergi.
Antrian terus maju. Saat aku berada pada urutan ke lima, bocah itu datang lagi dengan menangis. Ia tidak bisa bicara, hanya menarik tangan Bapaknya. Si bapak menatap anaknya, lalu segera berlari sambil mengusap mata. Aku terpaku. Apa yang terjadi?
“Istrinya dirawat di sebelah adik saya. Kanker paru-paru katanya. Mungkin sudah tidak bisa bertahan.” Aroma kasak-kusuk di sekitarku.
Aku terpaku. Aroma berpikir dan mengingat mama mendadak memasuki kepalaku.
“Diminum di sini atau dibawa?” tanya petugas kantin. Kuhela nafas berat. Aroma mengingat mama kian menguat.
“Dua. Bungkus.” Ucapku pada petugas kantin.
Tidak sampai lima menit, aku telah melangkah menuju kamar mama dengan membawa dua gelas bertutup berisi kopi hitam panas. Aroma sedap beradu dengan aroma obat dan karbol. Aroma rindu beradu dengan aroma takut dan khawatir.
“Mama.” panggilku pelan sambil membuka pintu.
Mama mengalihkan pandangan dari jendela kaca. Tangan beliau terulur menyambutku.
“Dean.” Bisik mama. Kupeluk leher mama sambil mencium pipi beliau.
“Bagaimana pagi ini, Mama?” tanyaku.
Mama tersenyum.
“Mama makin sehat. Mengapa masih dibiarkan di sini.”
“Tekanan darah mama belum stabil.”
“Dean, mama bosan. Jika mama bosan, mama akan memikirkan atau mengkhawatirkan banyak hal. Jika khawatir, tekanan darah naik. Mama harus bagaimana?”
Kuusap punggung mama.
“Apa yang bisa Dean lakukan agar mama tidak khawatir?”
“Beri jaminan pada dokter bahwa mama akan tenang di rumah, sehingga tekanan darah mama akan turun dan stabil.”
Aku menatap mama.
“Mama tahu bukan begitu caranya. Mama bukan tahanan, tidak perlu jaminan. Pertanyaan Dean, apa yang bisa Dean lakukan agar mama tidak khawatir?”
Mama menatap jendela kaca lagi.
“Mama tahu kalian terpaksa meninggalkan semua aktivitas, gara-gara mama harus dirawat di sini. Dedek tadi marah-marah karena Dean terlambat datang jaga. Chica selalu terburu-buru pergi karena khawatir ASInya terkontaminasi aroma jahat rumah sakit ini. Anne enggan datang karena tidak tahan dengan hiruk pikuk rumah sakit. Mama khawatir belum menjadi mama yang baik untuk kalian.”
“Apa hubungannya, Mama?” tanyaku.
Mama langsung menoleh menatapku.
“Tidakkah kamu melihat bahwa mama belum berhasil mendidik kalian bagaimana bersikap saat orang tua kalian yang sendirian itu sakit dan perlu perawatan medis?”
Aku terpaku.
Mama menarik selimut dan berbaring miring ke arah tembok. Membelakangiku. Bahu mama berguncang.
Aku menatap dua gelas kertas di atas meja. Aroma berpikir masih menguar, tetapi aroma kasih  sayang mulai dingin dan berangsur hilang.
*****

“Apalagi, sih, Mas? Aku sudah siap menanggung 50% biaya perawatan mama. Kurang apa?”
“Aku mau kita malam ini berkumpul jam 7, di rumah. Tidak ada alasan. Peras ASImu banyak-banyak. Kasih Bebi ke papanya. Kamu datang sendiri ke rumah.”
Kututup kontak. Terus kulakukan reject jika Chica berusaha memanggil.
“Anne sedang banyak kerjaan, Mas.”
“Tidak ada alasan. Jam 7, di rumah. Tepat waktu. Sendirian.” Kataku lalu menutup kontak.
Dedek menghela nafas berat mendapatiku setengah mengancam kedua kakak perempuannya.
Sementara aku menghirup aroma berpikir dari gelasku. Masih panas. Kuseduh sendiri di rumah mama. Di rumah sakit, istriku berjanji menunggui mama sampai besok pagi. Si kembar putra kami terlelap di atas kasur neneknya.
Sampai senja lewat, aku masih membaui aroma berpikir.
*****

“Mama baik-baik saja, kok, Mas. Jika sampai besok pagi stabil begini, siangnya dokter menjamin mama boleh berkemas.” Kata istriku melalui telepon.
“Terima kasih, Sayang. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu.”
“Ih, si Mas. Sun sayang buat si kembar ya.”
“Oke. I love you, too.”
Istriku masih tertawa sambil menutup sambungan telepon. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Jam 7 kurang 25.
Kudengar suara mobil di halaman. Anne. Diantar pacarnya. Sejenak mereka berbicara serius, sebelum lelaki tinggi hati itu menekan gas dan melaju. Anne menggigit bibir sambil melangkah masuk rumah.
“Sebaiknya ini penting. Sepenting aku meninggalkan Adam dan kantor kami. Padahal sedang banyak permintaan ini.” Kata Anne sambil meraih cangkir dan toples kopi.
Dengan kecepatan fantastis, satu menit kemudian Anne sudah duduk, dan menikmati aroma berkarya. Sesekali ujung jari telunjuknya menggores-gores layar HP. Ditatap. Mencecap kopi. Dihapus. Gores lagi. Ditatap. Hapus. Menyeruput kopi dari sendok. Menggores lagi. Simpan. Tersenyum. Melamun lagi. Menghirup aroma nikmat. Menggores lagi. Ah, seniman.
“Assalamu’alaikum.” Teriakan Chica mengguncang rumah. Diikuti langkah-langkah tergesa dan kibasan hijab ke belakang pundak. Bahu kanannya digantungi tas branded. Bahu kirinya menenteng tas peralatan pompa ASI. Semua tas ditaruh di meja. Si empunya mendekati meja kopi. Yang ini perlu waktu hampir sepuluh menit untuk mendapatkan mahakarya capucino dengan lukisan wajahnya sendiri. Tak lama, Dedek datang dengan membawa gelas ukuran setengah liter berisi kopi saring hitam pekat. Aku sendiri meletakkan cangkir kopi susu.
Kami duduk melingkari meja makan, menghadap kopi masing-masing.
Tepat jam 7.
“Terima kasih kalian datang. Mas harap, kita semua bersikap terbuka dan legowo dengan apapun yang akan kita bahas.”
“Buruan, Mas. Time is money.” Kata Anne.
“Yeah, I know you’ll say that. Yang mau mas bahas ini tentang mama.”
“Chica sudah janji menanggung 50%. Mau cash sekarang?” tanya Chica sambil meraih tas brandednya.
No. No. No. Will you please listen?” tanyaku gusar.
Chica menyandarkan punggung sambil angkat tangan.
“Ini bukan tentang uang. Sama sekali tidak. Tanpa bantuan keuangan dari kita, mama punya cukup tabungan untuk mandiri membiayai perawatan kesehatan beliau. Tetapi ini tentang mama.”
Kuedarkan pandangan pada ketiga audience-ku. Mereka masih menatapku penuh.
“Mama, membutuhkan perhatian kita. Kehadiran kita. Keberadaan kita bersama dengan beliau. Utuh. Tidak dibayangi kesibukan. Tanpa ketakutan tertular. Tanpa maksud apa-apa. Tulus. Penuh kasih. Tidak hanya sekedar penggugur kewajiban sebagai anak kepada orang tuanya.”
“Mama selalu mengatakan, jika Dedek ada kuliah, mama ditinggal saja.” Dedek membela diri.
“Mama pasti tahu Anne tidak betah dengan bau rumah sakit.”
Kutatap mata Chica. Berharap dia tidak ikut membela diri.
“Chica masih menyusui, Mas. Tiap satu jam harus memerah ASI. Tidak ada ruang menyusui steril di rumah sakit itu. Siapa bisa menjamin ASI yang Chica peras di sana tidak terkontaminasi?”
Kuhela nafas. Aku tahu adik-adikku akan berkata sedemikian. Aku bangkit dan menuju lemari penyimpanan alat makan. Kuambil sepasang cangkir keramik. Ada tulisan nama mama di satu cangkir dan nama papa pada cangkir pasangannya.
“Kalian masih ingat ini?” tanyaku.
Sejurus mereka berdiam, lalu mengangguk.
“Itu hadiah ulang tahun pernikahan perak mama dan papa. Hasil kita menabung bersama sebulan penuh.” Kata Anne. Kuanggukkan kepala.
“Kamu sudah bersiap menikah, Anne. Dan kamu sedang menjalani pernikahan, Ca. Kupikir kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya saat pasangan tempat kita mengikat janji setia, meninggalkan kita untuk selamanya?” tanyaku.
Chica dan Anne berdiam menatap sepasang cangkir itu.
“Pernahkah kalian mengamati bahwa sejak papa meninggal lima tahun yang lalu, mama masih minum kopi dari cangkir ini. Tetapi mama minum kopi pahit. Pernahkah kalian bertanya?”
“Dari dulu mama minum kopi pahit, Mas.” Kata Dedek.
“Tidak, Dek. Saat meminumnya bersama papa di pagi hari, selalu kopi manis.” Kata Chica.
Kuanggukkan kepala. Dedek mengangkat tangannya.
“Lalu?”
“Sepeninggal papa, mama kesepian. Mama merasa kosong. Terlebih, dengan alasan kita mampu membiayai hidup beliau, kita melarang beliau berkarya. Sayangnya kita berempat lupa. Kita  ada. Tetapi kita tidak benar-benar ada untuk mama. Kita tidak berkisah dengan mama. Kita tidak menikmati waktu bersama beliau. Ini seperti membuat kopi, tetapi tidak bisa menikmatinya karena mata kita buta, hidung kita buntu, kulit kita mati rasa, dan lidah kita tidak berfungsi.”
Chica, Anne, dan Dedek terdiam.
“Mas tahu mas bukan kakak yang bisa menjadi teladan sempurna. Tetapi kita belum terlambat. Kita masih diberi kesempatan menjadi anak yang berbakti. Kita bisa membuat mama berhenti merasa tidak berguna, khawatir, dan gagal mendidik putra-putrinya. Jika mama tenang, kesehatan beliau juga akan baik.”
Dedek menghela nafas. Chica dan Anne menyusut hidung. Tetes air melewati pipi mereka dan jatuh ke taplak meja. Mataku penuh.
*****

Sehari kemudian
“Nenek! Nenek!” teriakan si kembar membahana mengisi rumah. Mereka menyambut neneknya yang baru turun dari mobil. Yang dipanggil segera meletakkan tas tangan dan berlutut menyambut cucu-cucu. Beliau memeluk dan mencium pipi bocah-bocah 4 tahun itu.
Usai ritual cium tangan dan pipi dengan semua anaknya, mama berdiri menatap garasi rumah yang telah kami modifikasi. Mama tersenyum seraya merangkul pundak Dedek dan Anne.
“Jadi, kalian ingin mama membagi kasih untuk semua orang?” tanya mama.
“Bagi kami, di dunia ini tidak ada kopi seenak Kopi Mama. Tidak ada kasih sehangat kasih mama. Jika tidak mau berbagi disebut pelit, maka kami tidak pelit membagi aroma kasih mama dengan orang lain.” Kata Chica.
Mama tersenyum haru.
Lima menit kemudian aroma kasih mengisi udara di kafe Kopi Mama. Mamaku beraksi dengan hal yang sangat beliau sukai. Kali ini tidak akan hanya untuk kami, tetapi juga akan untuk orang lain. Mama akan memiliki kesibukan baru memberikan petunjuk bagi dua pegawai yang meracik kopi. Mungkin akan butuh penyesuaian dan alat-alat baru sesuai keinginan mama. Tetapi setidaknya modifikasi ini akan membuka pintu bagi terbaginya aroma kasih bila dibutuhkan orang lain.
Tembok utama di belakang meja racik masih kosong. Kupikir, akan kutuliskan “Kopi Mama, aroma kasih untuk semua generasi.”



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com 

Rabu, 29 Juni 2016

SE 2016 SESI 10 ((Sementara) yang terakhir)

Rencananya, ini adalah sesi penutup dari rangkaian cerita saya tentang Sensus Ekonomi 2016. Jangan protes kok tidak digenapi 10.000. Kan saya sudah bilang, 10.000 itu kalau ada 1.000 petugas. Nah, yang teman-teman baca ini kan baru pengalaman 1 orang. Jadi cukup 10 saja ya. He he he. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika tiba-tiba saya ada Aha! Yang masih berhubungan dengan SE 2016, saya akan tuliskan sebagai sesi 11 dan seterusnya.
Saya akan isi sesi 10 ini dengan pesan-pesan dari responden saya, yang diharapkan disampaikan kepada pemerintah. Mereka melihat saya melakukan tugas negara, jadi dalam hal ini saya adalah wakil pemerintah.
Begini pesannya:
1.       Rata-rata responden saya adalah pengusaha kecil, macam ojek atau toko rumahan. Penghasilan dari usahanya banyak  yang kurang dari 500 ribu rupiah setiap bulan. Tolonglah pemerintah buat program yang benar-benar bisa menyentuh mereka agar bisa mengembangkan usahanya.
2.       Banyak responden yang sudah putus harap dengan pemerintah. Mau pemerintah membuat program macam-macam, mereka tetap harus mencari makan sendiri. Dari waktu ke waktu keadaannya ya begitu-begitu saja. Seolah tidak tersentuh tangan pemerintah. Bahkan yang ada, dengan penghasilan yang kian berkurang, pajak bumi dan bangunan (PBB) malah naik lumayan besar. Ada apa?
3.       Beberapa harapan muluk: petugas sensus ekonomi itu seharusnya bawa sembako tiap ke rumah responden.
4.       Ada pula yang bersemangat: “saya akan berikan data saya apa adanya. Tetapi sungguh saya tidak mengharapkan pertolongan apa-apa dari pemerintah.”
5.       Tolong ijin usaha dimudahkan. Terutama untuk usaha kecil dan industri rumah tangga. Kalau bisa dibantu sampai proses lab. Terutama untuk industri makanan.
Saya merasakan beragam emosi saat mengingat orang-orang yang menitipkan harapan-harapan itu. Saya yakin, mereka menitipkan harapan itu tentu dengan kepercayaan bahwa pemerintahnya masih memperhatikan hajat hidupnya.

Semoga apa yang telah kami kerjakan akan membawa manfaat bagi masa depan cerah bangsa ini. Aamiin. 

SE 2016 SESI 9

Saya sebelumnya tidak pernah mengetahui bahwa ada diantara tetangga saya yang telah menempuh jalan panjang untuk mendapatkan pencerahan spiritual. Pencerahan dalam arti kesadaran dari yang tadinya hidup bahagia sejahtera, tetapi jauh dari agama. Sekarang hidup bahagia dan tetap sejahtera, tetapi dekat dengan agama. Merasakan ketenangan hidupnya yang baru, dan betapa beliau merasa jauh lebih baik dan lebih bahagia daripada episode hidupnya yang dahulu, membuat beliau merasa sebaiknya menggunakan kesempatan bertemu saya untuk menceritakan pengalamannya.
Dahulu, beliau adalah seorang pebisnis. Banyak hal beliau dengan jeli bisa menjadikannya lahan bisnis. Hubungan dengan pemerintah, beliau sangat paham. Hubungan dengan pengusaha dan politik, apalagi. Dari segi penghasilan, luar biasa.
Setelah sekian tahun hidup seperti itu dijalani, beliau merasa ada yang hampa dalam dirinya. Lalu beliau mulai mencari. Berguru ke sana dan kemari. Membaca beragam buku. Sampai akhirnya beliau mendapatkan pencerahan dan memilih untuk meninggalkan segala keburukan di masa lalu.
Sekarang beliau hidup sederhana dengan mengelola rumah kos dan sebuah toko cemilan. Ibadah jadi sebuah kebutuhan, tetapi justru menjadikan hidup beliau lebih tenang dan bahagia.
Beliau mengajak saya berpikir. Selagi usia masih segini, (37 masih kok ya :D) saya masih berkesempatan memilih banyak hal. Kami bertemu dan beliau berbagi agar saya punya gambaran mana yang sebaiknya dijauhi, mana yang didekati. Kisah-kisah orang-orang yang saya datangi, tentu akan menambah pengetahuan dan wawasan saya tentang hidup. Jangan lewatkan itu.

Tentu, Bapak. Saya belajar banyak hal dari tugas yang saya jalankan ini. Terima kasih telah berbagi.

SE 2016 SESI 8

Suatu sore, saya masuk wilayah dekat-dekat rumah. Satu demi satu saya datangi, tanyai dan catat. Dari obrolan-obrolan itu, saya jadi tahu kondisi masing-masing tetangga saya. Ada yang sedang berusaha bangkit, ada yang sedang sulit, ada yang sakit, ada yang adem ayem karena banyak duit.
Menyadari materi demi materi itu, saya sadar betapa sebagai tetangga selama ini saya kurang gaul pakai banget. Saya memang bukan jenis perempuan yang suka bertandang berlama-lama ke rumah tetangga. Bukan karena saya tidak butuh tetangga, tetapi karena minimnya waktu. Saat ada kesempatan, biasanya ketika semua pekerjaan selesai dan anak-anak ingin berkeliling kampung, saya bisa menyapa tetangga.
Jadi di luar harapan saya, menjadi petugas Sensus Ekonomi 2016 memberi saya banyak pengetahuan baru tentang orang-orang di lingkungan saya. Orang-orang yang dulu datang saat saya menikah, tetapi sebagian besar tidak saya kenal. Sekarang saya jadi tahu nama mereka, pekerjaannya, kondisinya, bahkan ketika mereka sedang ada acara.
Asyiknya, ketika sensus ke tempat yang sedang ada acara, bahkan ketika tamu-tamu yang diundang belum datang, saya sudah dapat kue duluan. He he he.

Masihkah ada hikmah baru? Next.

SE 2016 SESI 7

Saat tiga minggu pertama sensus berlangsung, saya sedang sibuk-sibuknya di sekolah karena menjadi panitia Ujian Akhir Semester Genap alias Ujian Kenaikan Kelas. Saat yang sama, anak-anak les juga minta waktu ekstra untuk memaksimalkan ujian di sekolahnya masing-masing. Plus dapat order tulisan dan banyak tugas kuliah. Jadi seringkali saya baru bisa melakukan sensus sore sampai malam hari.
Masalahnya, sebagian besar warga kampung saya adalah karyawan, yang inginnya saat malam hari tidak diganggu. Jadi, tantangan untuk mengatur waktu sebaik-baiknya besar. 
Sensus malam, artinya ada yang ngajak cepat-cepat biar bisa segera melanjutkan istirahat. Ada pula yang berlama-lama ngajak ngobrol, disuguhi cemilan dan bahkan ada yang curhat segala.
Tetapi ada salah satu rumah yang memberi saya kejutan.
Saat saya ketuk pintu rumahnya, beliau bukakan pintu.
“Maaf, bapak, minta waktu sebenar. Saya petugas Sensus Ekonomi...”
“Tidak bisa!”
Langsung tuh pintu ditutup dan dikunci di depan muka saya. Hmmm... masih jam 7 malam. Orang sebelah yang sudah sepuh, pengusaha, dan punya dua pabrik saja mau menemui saya. Lah ini yang orangnya terkenal sebagai lelaki penunggu rumah malah banting pintu.
Yahh. Belum saatnya. Timing-nya tidak tepat. Atau carilah alasan lain untuk mendinginkan hati.
Yang jelas, besoknya saya sudah bisa tertawa. Akhirnya saya merasakan penolakan itu. Loh, jika mengingat tujuan awal saya mengajukan diri, pengalaman seperti ini sangat berharga.

Tentu kejutan tidak berhenti di situ. Apa kejutan yang lain? Tunggu ya.

SE 2016 SESI 6

Blok pertama saya akhiri dengan sebuah rumah yang dari jalan beraspal, memiliki jalan masuk tersendiri. Jalan masuk itu panjangnya sekitar 25 meter. Kanan kiri jalan semua rumah kosong. Syukur saya datangnya sore. Kalau malam, mungkin akan terasa horor. Dan yang terkenal dari rumah itu adalah the dogies.
Benar saja. Begitu menekan bel, datanglah dua makhluk penyambut. Tidak bawa bendera, apalagi kalungan bunga. Tetapi bawa gigi-gigi runcing dan gonggongan meyakinkan. Ukurannya juga lumayan.
Saya selama hidup tidak pernah memelihara anjing. Tetapi entah kenapa, pada episode hidup di kampus, saya sering dapat anak les yang memelihara anjing di rumahnya. Kalaupun tidak, biasanya di sekitar rumahnya banyak anjing yang dibiarkan berkeliaran. Ukurannya beragam. Mulai yang imut tapi tampangnya galak, ada yang pudel, bahkan ada yang ketika ia menunduk tuh kepalanya setinggi pinggang saya. (tinggi saya 147 cm, jadi jika anjing itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya, ia pasti lebih tinggi dari saya.)
Akibat kondisi anak-anak les itu, saya terbiasa untuk bersikap tenang meskipun ada anjing berkeliaran di sekitar saya. Anjing menggonggong, Agustina harus tetap berlalu. (Walau hati dan jantungnya sudah turun sampai perut dan siap pingsan setiap saat. Syukur tidak pernah sampai pingsan dalam kondisi itu.)
Jadi, ketika gerbang dibukakan dan saya disambut oleh Majikannya si anjing, saya tetap senyum dan bersalaman dengan beliau. Saat kami melangkah masuk rumah, kedua anjing tetap melompat-lompat dan berjalan mengelilingi saya. Sungguh, berjuta rasanya. Saya masih berusaha tetap tenang.
Pertimbangannya begini:
1.       Jika saya halau, bisa saja si anjing justru akan menghajar saya.
2.       Jika saya sengaja sentuh, belum tentu si anjing bakal ramah. Bisa saja si anjing justru akan menghajar saya.
Hasilnya sama kan? Jadi bersikap tenang saja adalah pilihan terbaik. Puncaknya, salah satu anjing mengendus tangan kiri saya. Terasa lendirnya sempat nempel. Wahhh .... ini. Masalah.
Pak Responden menyadari itu dan segera menghalau anjingnya, disuruh masuk. Kedua makhluk itu pergi dengan bersuara unik, yang di telinga saya terdengar seperti dua anak super aktif sedang bersungut-sungut.
“Kok bisa tenang menghadapi anjing?” tanya beliau heran.
“Anak les saya dulu banyak yang punya anjing, Pak.” Jawab saya kalem. Beliau tersenyum dan sensus berjalan lancar di rumah itu.
For your information, meski beliau tinggal di segmen pertama dan blok pertama saya, tetapi beliau adalah penutup dari seluruh rangkaian sensus yang saya kerjakan. Padahal sejak awal bulan saya kontak beliau, tetapi masih sibuk terus. Justru di hari terakhir, beliau yang menelepon saya, minta disensus.
Hidup memang penuh kejutan, ya.

Kejutan apalagi yang saya dapatkan? Sesi berikutnya ya.

SE 2016 SESI 5

Keluar sejenak dari masalah responden dan responnya. Saya mau mengulik tentang penampilan petugas.
Standarnya, SOP kami adalah ketika sensus mengenakan pakaian yang sopan, bersepatu, lengkap dengan rompi khusus, topi khusus, tas khusus dan ID khusus. Dalam tas masih dilengkapi dengan pensil, pulpen dan kotak pensil berlogo SE 2016. Yang tidak berlogo hanya spidol, rautan, dan penghapus. Alas menulis yang saya gunakan berupa meja dada, khusus saya beli yang warnanya match: oranye, sesuai warna segala atribut kami.
Lucunya, dalam masa kami baru mulai sensus, sempat beredar di grup WA yang saya ikuti, tentang adanya manusia-manusia sampah yang mendatangi rumah dengan kedok SE 2016. Berita ini masih dilengkapi dengan alasan disebut sampah karena yang bersangkutan melakukan penipuan, pencurian, bahkan penculikan anak.
Saya tidak tahu siapa yang pertama membuat berita ini. Yang saya dapati begitu saja beredar di medsos. Ketika saya tanyai orang yang posting, dia bilang dapatnya dari atasannya yang tentu dia tidak bakal meragukan kebenarannya.
Ya, tentu sempat dongkol juga. Lah kita ini serius  melaksanakan tugas yang bahkan oleh Inda kami disebut tugas negara. Untuk kepentingan siapa? Mereka-mereka yang posting berita kayak gitu juga kan.
Syukurlah masalah tersebut segera ditangani. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut dan semua responden menolak dengan alasan khawatir, tentu program BPS yang satu ini tidak terlaksana.
Solusi yang bisa kami sebagai petugas lapangan lakukan mudah saja. Petugas beneran datang dengan atribut sesuai SOP. Lengkap dengan surat tugas yang telah distempel RT, RW, bahkan kepala wilayah setempat. Jikapun yang ini dipalsu, petugas yang datang sebisa mungkin adalah warga setempat. Jadi kalau petugas itu macam-macam, tinggal datangi rumahnya. Jitak rame-rame he he he.
Pelajarannya, kami jadi tertib pakai atribut sesuai SOP. Kami juga rajin mendatangi RT setempat sebelum mulai sensus. Dan yang pasti, karena senyum itu SOP, kami jadi rajin senyum. Apalagi kalau berhasil mencapai target harian.
Lihat senyumku à J

Masih mau senyum lagi? Next.

SE 2016 SESI 4

Yess, beberapa hari internet saya menolak koneksi dengan komputer. Jadi, selagi bisa, mungkin akan langsung posting beberapa seri.

Sebelumnya, saya menyebutkan pilihan untuk sekali jalan langsung beres. For your information, ada teman yang memilih nyensus dulu, stiker belakangan. Memang aman, tetapi juga jadi muter dua kali. Itu masalah pilihan saja. Semua dengan plus dan minus masing-masing.
So, saya mulai mendatangi satu demi satu rumah tetangga saya. (Syukurlah, saya dapat tempat tugas di sekitar tempat tinggal saya saja.) Yang kenal, menyambut saya dengan senang hati. Yang tidak kenal, macam-macam.
Kira-kira di rumah ke 20, sebuah rumah yang sering berganti-ganti penghuni, saya dapat kejutan.
Saat datang ke sana, saya sendirian. Waktu juga sore-sore segar. Matahari jam 5 sudah mulai jingga.
Saya menyapa seorang ibu yang sedang menyapu di halaman rumah itu. Ketika melihat saya, beliau langsung bertampang panik.
“Maaf, mbak. Saya tidak punya uang. Sungguh.”
What? Dikira saya ini sales apa gitu? Atau petugas penarik iuran apalah? He he he.
Tetapi ini sudah diwarning sama Inda saya. Jadi tetap pasang senyum (walau dalam hati bilang OMG), ajak salaman, jelaskan maksud kita, tunjukkan surat tugas dan buat sederhana. (yang terakhir ini versi saya, melihat beliau nampaknya sudah cukup sepuh.)
Meski dari rumah itu hanya dapat nama, tetapi sukses lah. Setidaknya saat saya pamit, beliau melepas saya dengan senyum. Walau ini responden pertama yang su’udhon sama saya, tapi kan ya tetap responden. Harus dihadapi.
Jadi mikir. Apa sih yang salah dengan penampakan saya?

Apa ada masalah dengan penampilan? Next ya.

Bagaimana menurut kalian?

Senin, 20 Juni 2016

SE 2016 SESI 3

Profesi tambahan saya sebagai guru,ternyata sama sekali tidak menjamin saya akan bebas dari rasa nervous, bingung memulai dan tidak yakin dengan segala ilmu yang telah saya pelajari selama pelatihan.  Bahkan menjadi peraih nilai tertinggi di kelas sayapun bukan jaminan saya tidak lupa dengan segala SOP.
Tetapi tanggung jawab tetap harus dikerjakan. Jadi berangkatlah saya pada tanggal 1 Mei 2016 menuju rumah paling pojok barat daya di segmen pertama. Saya mengenakan rompi, memasang ID resmi, membawa tas penuh berisi perangkat perang dan bersepatu. Itu standar yang kami harus lakukan. Tambahannya, dua bidadari saya ikut serta. Alasannya, ingin tahu bagaimana sebuah sensus dikerjakan. Baca: bagaimana ibuku bekerja dalam sensus ini.
Rumah pertama, ukurannya cukup besar. Tetapi ternyata penghuninya hanya seorang manula dan dirawat oleh orang yang menemui saya. Tidak ada usaha di situ, jadi pertemuan berlangsung singkat dan kami bisa segera pamit. Tetapi, belum 10 meter meninggalkan gerbang, saya teringat sesuatu.
SAYA BELUM MEMASANG STIKER!

Itu masalah krusial, karena saya memilih tidak perlu memutari ulang semua blok yang saya kerjakan. Jadi sekali jalan, beres.
So, satu rumah selesai. Berikutnya, sebuah toko. Kalau yang ini, saya kenal semua penghuninya. Jadi dengan tangan terbuka saya disambut, dijawab dan bahkan anak-anak dikasih kue. Rejeki anak solihah.
Rumah-rumah berikutnya? Masalah-masalah berikutnya?

Sabar ya.

Sabtu, 18 Juni 2016

SE 2016, Sesi 2

Profesi utama saya adalah ibu rumah tangga, yang mengurus keluarga kecil kami yang terdiri atas seorang ayah, seorang ibu dan dua putri. Di luar itu, saya berkesempatan berbagi ilmu sebagai guru tidak tetap di SMP Tamansiswa Batu dan di SMK Negeri 3 Batu. Walau di SMP sedang off agar memiliki lebih banyak waktu untuk pengembangan diri. Di masa off itu saya mendapatkan kesempatan menjadi PCL SE 2016.
Seperti saya ceritakan sebelumnya, kami lolos tes tulis dan wawancara, dan kemudian masuk ke masa pelatihan. Tidak panjang, Cuma 4 hari efektif, dengan fasilitas inap di hotel. Maksudnya agar kami bisa fokus dan materi terserap maksimal. Rencana kemarin mau langsung ke penerjunan, tetapi nampaknya tentang pelatihan juga perlu saya ulas ya. Jadi itu dulu deh.

Sepanjang masa pelatihan, saya banyak berkenalan dengan teman-teman baru. Berbagi pengetahuan, karena ternyata sebagian dari kami sudah pernah mengikuti sensus yang diadakan BPS sebelumnya. Setidaknya, dengan menggali pengalaman teman-teman tersebut, saya jadi tahu harus bagaimana nantinya menjalankan tugas. Mereka yang pernah ikut saja banyak bingung dengan SOP dan peraturan SE 2016. Apalagi kami yang belum pernah terlibat. But it’s oke. Karena pelatihan diakhiri dengan semacam try out. Kami diterjunkan ke lapangan, untuk melakukan praktik dan langsung dievaluasi oleh instruktur. Dengan cara ini, jadi punya gambaran nyata kelak bagaimana kami akan bekerja. Bahkan sudah langsung ketahuan juga teman-teman yang sudah benar-benar dhong dan yang mungkin kelak akan mengalami banyak hal seru. :D


Nah, ketika terjun beneran, bagaimana rasanya? Apakah prediksi selama try out itu menjadi nyata? Tulisan berikutnya, ya. 

Kamis, 16 Juni 2016

SE 2016, sesi 1

Insya Allah, saat ini status saya sudah selesai dengan tugas sebagai Pencacah Lapangan dalam Sensus Ekonomi 2016 (SE 2016).
Sebagai kegiatan sensus besar pertama, tentu rasanya ruar biasa.
Insya Allah, selama beberapa hari ini saya akan fokus posting tentang Sensus Ekonomi 2016.
Saya tidak akan menjelaskan alasan diadakannya sensus ini, tujuan dan segala peraturannya. Itu kan sudah ada di web-nya BPS.
Tetapi kalau kisah tentang bagaimana kami yang di lapangan, belum tentu termuat semua di portalnya BPS. Fyi, 1000 pencacah lapangan (PCL) bisa jadi memiliki lebih dari 10.000 kisah unik. Nggak percaya? Ikuti saja kisah manusia yang satu ini.

Saat mendaftar sebagai PCL, saya bertemu dengan banyak calon lain, dengan berbagai latar belakang, berbagai daerah asal dan alasan. Ada yang ibu rumah tangga, ada yang mahasiswa lulus tapi belum kerja, ada GTT (macam awak ni), ada pak RT dan macam-macam lagi. Sepertinya, ini sebuah profesi yang di dalamnya terkandung pula bermacam profesi yang lain. *Jika profesi sebulan ini boleh saya sebut profesi lho ya.
Ada teman yang tujuannya semata tergiur honor lumayan untuk kerja sebulanan, ada yang ingin cari jodoh (fiuhh), ada yang memang langganan menjadi petugas sensus, ada yang macam-macam lagi.
Saya pribadi, mengajukan diri utamanya untuk mengetahui bagaimana sensus program pemerintah dilaksanakan. Sebagai guru Matematika SMP, Statistika adalah salah satu pokok bahasan kami. Pencacahan adalah salah satu kegiatannya. Tidak all out rasanya jika saya sendiri belum pernah terjun sebagai petugas. Jadi saya niatkan menjadi PCL sebagai ajang mencari tahu 'bagaimana'. Masalah nantinya setelah tanggung jawab selesai, dikasih honor sama mitra saya, itu bonus.

Setelah tes tulis, wawancara dan pelatihan, kemudian diresmikan dengan sebuah prosesi pelepasan oleh Wakil Walikota Batu, sah sudah kami menjadi mitra BPS sebagai PCL.

Next, saya akan tuliskan pengalaman-pengalaman unik sebagai PCL. Tidak hanya yang berhubungan dengan manusia, tetapi juga dengan makhluk-makhluk yang lain. See ya.

Kamis, 12 Mei 2016

Family's Day Out: Sidoarjo - Surabaya - Saygon

It was a long weekend 6-9 May 2016.
We do a journey to Sidoarjo - Surabaya - Gresik. It was a memorizing journey of our family. Because we start to live together in Surabaya - Gresik 11 years ago.

DAY 1
We plan to go by train from Malang. But it was holiday and we're late. So we choose to go by motorbyke. Don't try to imagine how I and my husband took our 9 and 7 years old girls. I think this will be the last far journey we do by motorbike. :D We love to ride motorbike, but with children that grow and grow, we know it is not a wise one.

That Friday, we try a special route from Purwosari. It's a rocky road, looks like inside a forest, fresh and we can show them the plant of peanut, bean, jati, and a special white flower. They find a black monkey too. So, it was seems like in the middle of nowhere, but so many thing we can watch. Tired? of course. But happy, yes!! Thanks God for the chance.

In Sidoarjo, we meet our niece and nephew. They play a long day, but still got sad when we had to go in the afternoon.

We leave Sidoarjo, and go to Waru by short trip train, call commuter.

 It was their first chance. So they're so exited.
For your information, commuter is a train withour seat number. So we had to go fast to get seat. Thank's God we can find a seat. But I thought it's not so usefull. Because my kiddos prefer to stand so that they can watch the view from the window :D
It takes about 30 minutes from Sidoarjo to Waru.

The next step is go to the place we'll sleep that night. The choice is a new hotel named Sunshine. New small hotel with only about 20 rooms. We get the twin bed. The room is clean, nice and full facilities. We got water heater and coffee stock, too.

DAY 2
The next trip was go to a friend's house in Petemon. It's a full neighbourhood as so many places in Surabaya. But the point is to meet our friend and we can find 'em. No need to complain anything.
Then we went to Toga Mas near the Zoo. It's a homy design book store, where you can stay all day long. It's hard to leave. We find lot's of lovely and wanted book here.
For me, I can find the diary of Anne Frank. For your information, I've spent so many times to find this book. Always sold out 'till that day. So, here the stuff we bring to the next hotel.


The next hotel is De Puri. Woody interior and nice place to sleep. Although for me, who has to study that night, I need more light. :D

DAY 3
We spend that day with different activity. I stay all day long in UNAIR to do my test. My husby and kiddos went to Gramedia Basuki Rahmat, Surabaya. They said, Gramedia is a wide book store. They can find so many books there. So many things to see.


After I finished my test, we left Surabaya and our last destination is Saygon, a night park in Purwosari, about 50 km from Surabaya. So many games to play. But because we had limited time and had to save energy for the next day, we only allow our kiddos to play 3 games. They choose trampolin, flying fox and roller coaster.
The roller coaster is not that long, but good enough for experiment. :D
They love the flying fox. High and long enough.
The trampolin is the best so far we try in many places. We met the skyjump trainer too, but my kiddos and us so tired to learn. There is a flight simulator, ballon games, flying chair, boom boom car and so many other games.

We enjoy that weekend. Hope we'll get another chance to travel together again.
How about you?




Senin, 18 April 2016

No Say to me No

Image result for McFarland
Sounds bad. Antidenial person. Something like that.
But that wasn’t my point today. I’d like to tell you about the movie I got that sentence from.
The tittle is Mc Farland USA. Have you ever watch this movie? Not yet. Oh, please. Don’t spend your life without watching it  :D. Come on. Let’s go to internet and suft and watch this very recommended movie.
The actor is Kevin Costner (I don’t know about you, but I know this man since I was so young. And I keep say that he always choose special movie to play in).
This movie tells us about Jim White. A PE and science teacher that got so many troubles at schools where he teach. He fight with other teacher, hurt his students and other problems.
So, he moved to McFarland, a poor city in California. This place produces vegetables and fruits for whole America, but as many other places, the citizen are poor. Most of them work as a picker, who have no idea for a better life. They said, there’s no American Dream in that city.
Jim found that it’s a very quiet city. There’s only a supermarket an a restaurant, no hang out places. Some students got to go home before time because they had to help their parents picking. Some students had to leave their home at dawn, pick at the farm, then run to school and back to the farm after school. What a life.
Jim promise his family that they won’t stay long in that city.
One day, Jim realize that the students has ability to run very fast and they are strong. So Jim build a cross country team of 7 boys. They fight to build their dreams of a better life.
After so many fight with parents and farm foreman, the team can go to California first chalenge. And they win.
This winning change so many thing in Jim’s life, his family and of course the boys’s life. 6 of them got schoolarship to college and become many kind of better job than picker.
How about Jim? He and his family still stay in McFarland untill the day the movie made. He dedicate his life to build another American Dream in McFarland.
I like this movie not because Kevin Costner, he he he. I like this movie because it tells us about passion, all out in what we do. It tells me that if we can find a light in every children, they’ll become a good people someday. Just believe in them and help them to grow.
Congrats for all the actor and actress that play in this movie and all the crew, because you are all so lucky. I wish this movie will inspire more people, more teacher like me.
I almost forgot. The sentence no say to me no, it’s a sentence that say at least twice by the mother of 3 Jim’s runner. She’s a good mother.
For all of you who read this note, go. Find this movie and watch. Come share your opinion with me. I’ll wait.  



Rabu, 06 April 2016

Finally, the Campfire


Finally, we can do the weekend camp at school.
It's fun, full with activity, open our mind and memory about how a camp is.
I wish the memory will take forever.

What we want to do in this activity is refresh our knowledge about scouting. So, we learn more about leadership, PBB (what is the English word for this :p), survival in an open area, build the tents, pioneering, semaphore, how to describe something in front of the audiences, dancing, singing and many more.
I can't imagine that we need less then one week to prepare this.

I thank's god to meet those spiritfull teenagers, that they do everything they can to gain what they want. I wish each of them will become a good leader in the future, in every field they choose. Aamiin.

new link

I still don't get it, why I have to copy this paragraph in my media. So, let's wait the effect for the next 24 hours.

Or, somebody can explain to me?  He he he. I'm new comer here.

<style>.ig-b- { display: inline-block; }
.ig-b- img { visibility: hidden; }
.ig-b-:hover { background-position: 0 -60px; } .ig-b-:active { background-position: 0 -120px; }
.ig-b-48 { width: 48px; height: 48px; background: url(//badges.instagram.com/static/images/ig-badge-sprite-48.png) no-repeat 0 0; }
@media only screen and (-webkit-min-device-pixel-ratio: 2), only screen and (min--moz-device-pixel-ratio: 2), only screen and (-o-min-device-pixel-ratio: 2 / 1), only screen and (min-device-pixel-ratio: 2), only screen and (min-resolution: 192dpi), only screen and (min-resolution: 2dppx) {
.ig-b-48 { background-image: url(//badges.instagram.com/static/images/ig-badge-sprite-48@2x.png); background-size: 60px 178px; } }</style>
<a href="https://www.instagram.com/agustinadewisusanti/?ref=badge" class="ig-b- ig-b-48"><img src="//badges.instagram.com/static/images/ig-badge-48.png" alt="Instagram" /></a>

Senin, 22 Februari 2016

PINTU REJEKI

Pernah mengalami ketika keadaan begitu sulit, uang dalam dompet sudah sangat sedikit, junior sakit, ditambah perut melilit. Semoga belum pernah. Jikapun sudah, bersyukurlah karena ketika membaca catatan ini, bisa jadi kita telah lulus ujian itu. Tinggal menanti ujian-ujian yang lain. Yang bisa jadi lebih berat karena kita tentu diharapkan terus mengalami kenaikan kelas.
Hari ini, saya belajar tentang pintu rejeki. Ceritanya, adik saya memulai usaha berjualan produk makanan olahan daging ayam. Ternyata, membuka warung dengan hidangan yang tidak pasaran, terjaga mutu dan rasanya, lolos seleksi tim peninjau dari puskesmas serta harga terjangkau tidak menjamin pembeli akan banyak. Maka diperlukan langkah proaktif untuk memperluas pasar.
Nah, ternyata adik saya mendapatkan pasar-pasar baru dari orang-orang yang mengobrol dengannya sehari-hari. Misalnya nih, ada ibu-ibu yang ketemunya ketika belanja bareng di tukang sayur. Salah satu dari mereka cerita kalau kenal dengan salah satu ibu kantin di sekolah A. Maka datanglah tawaran nitip produk. Dari ibu yang lain, tawaran ke sekolah B. Yang lain lagi pesan untuk hidangan tahlil. Masih ada pula yang tanya apakah bisa disimpan lama dalam freezer.
Setelah satu tahun berjalan dan dia tetap survive, nampaknya dia hanya perlu tetap konsisten dan menjaga mutu produknya. Setelah stabil, mungkin dia harus mulai mengembangkan sayap dengan membuat versi beku yang bisa disimpan barang seminggu, atau malah produk-produk yang lain.
Darinya, saya belajar untuk tidak mudah menyerah. Pasti ada pintu rejeki yang dibukakan ketika kita terus berusaha, berdoa dan menjalin silaturahmi. Jangan sepelekan jaringan, jangan sepelekan teman-teman di sekitar kita. Bisa saja sebagian dari mereka adalah pembawa kunci pintu rejeki kita.
Bagaimana dengan teman-teman? Punya pengalaman serupa? Berbagi pengalaman yuk.

Next, saya akan kembali pada tema tentang anak-anak Dewan Ambalan saya. Banyak hal baru. Banyak perkembangan. Sampai ketemu.