Kamis, 12 Desember 2013


MY NOVEMBER WISH COME TRUE
(catatan hari pertama, 10 Desember 2013)

Akhir Oktober 2013, saat mampir ke Toga Mas Malang untuk mendaftarkan junior lomba, saya sekilas mengintip display buku baru. Salah satu buku yang menarik perhatian saya adalah yang berjudul “Guardian Angel, Romantika Membangun Sekolahnya Manusia”. Bukunya cukup tebal, tetapi ukurannya pocket. Karena memuat frasa sekolahnya manusia, saya berpikir jangan-jangan buku ini adalah sekuel dari buku Sekolahnya Manusia dari Munif Chatib. Saya segera mengintip isi buku melalui salah satu buku yang memang disediakan sebagai sampel.
Ternyata saya tidak salah, walau tidak juga sepenuhnya benar. Karena tulisan Munif Chatib dalam buku itu tidak lebih dari lima halaman. Selebihnya adalah tulisan orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal, tetapi semua dalam misi yang sama. Yaitu menebarkan semangat membangun sekolahnya manusia. Tentu dengan pengalaman riil mereka menerapkan prinsip Multiple Intelligences, lengkap dengan plus minus dan solusinya.
Pas. Ini buku yang tengah saya cari. Saat itu saya telah rampung membaca buku sekolahnya manusia, tetapi terbentur di lapangan. Saya merasa masih ada yang kurang dalam diri saya, secara pengetahuan maupun praktikal. Buku itu dapat menjawab sebagian pertanyaan saya.
Lalu saya luangkan waktu beberapa jam sehari selama sekitar tiga hari untuk membaca buku itu. Bukannya membosankan, malah semakin menarik. Beberapa kali saya harus mengangguk-angguk, geleng kepala atau malah menitikkan air mata. Pada salah satu halaman bahkan saya menemukan nama Rama Aditya disebutkan sebagai salah satu pengisi acara di Jakarta. Kebetulan saat itu saya baru saja berteman dengan Ramaditya, seorang dosen LP3I Jakarta, blogger, penulis online dan tengah menanti launching novelnya.
Saya bertanya pada Ramaditya apakah benar dia yang ditulis dalam buku itu. Ternyata benar. Saya kemudian tanyakan pula seperti apa pelatihannya. Bagi saya materi inti pelatihan itu saja sudah menarik. Tetapi testimoni dari orang yang pernah berada di forum itu tidak boleh saya lewatkan. Ramaditya memberi support sehingga saya yakin untuk membuat November Wish.
Setelah itu, saya kirim email kepada bapak Munif Chatib. Beberapa hari kemudian email itu dibalas dengan sebuah proposal kegiatan dan formulir pendaftaran. Saya simpan dulu formulir itu, yang segera saya unduh adalah proposalnya. Pertama saya tunjukkan proposal itu pada suami. Seperti biasa, dia adalah pendukung utama saya. Dia tidak pernah melarang mengikuti sebuah pelatihan, bahkan siap dengan support apapun yang saya butuhkan.
Lolos dengan ijin suami, saya kirimkan proposal itu pada staf kurikulum. Dengan respon cepat pula dia mendukung saya. Dia akan langsung teruskan pada kepala kurikulum. Esok harinya, beliau juga dengan mudah saya temui dan mendukung. Bahkan bersedia mengusahakan support dana bila saya perlukan. Saya menolak dana itu untuk sementara, karena saat itu sedang dalam proyek penulisan yang hasilnya lumayan. Hari berikutnya saya menghadap kepala sekolah untuk mengajukan ijin untuk mengikuti kegiatan itu.
Syukurlah, Kepala Sekolah juga mendukung. Apalagi sejak awal saya mengatakan saya berangkat sebagai pribadi, tidak sebagai utusan lembaga manapun. Kepala sekolah memberi ijin, sekaligus meminta agar sebelum berangkat, saya selesaikan semua tugas dan sekembali dari pelatihan agar mau berbagi ilmu dengan rekan-rekan yang lain. Saya sanggupi hal itu.
Maka dengan mantab saya kirimkan formulir pendaftaran pada panitia Guardian Angel. Hari itu juga saya mendapat kiriman email dari panitia GA, yang isinya tulisan bapak Munif Chatib. Salah satu point penting yang saya ambil adalah “Sudah banyak contoh yang mana rizki seorang guru tiba-tiba diguyur oleh Allah SWT dari pintu yang tidak terduga, atau dari akibat guru tersebut terus menerus belajar”.
Allah memang Maha Penyayang. Allah menjawab November wish saya dengan sebuah panggilan dari Dinas Pendidikan Kota Batu bahwa saya adalah salah satu penerima insentif GTT (Guru Tidak Tetap). Dana itu turun tepat satu minggu sebelum jadwal perkuliahan GA. Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.
Ketika berdiri di depan kelas GA dan juga Bapak Munif Chatib untuk memperkenalkan diri, di awal saya katakan bahwa berada di ruangan itu adalah sebuah November wish yang comes true. Saya bersyukur sekali mendapatkan kesempatan ini. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang senantiasa memberi saya support untuk terus maju. Juga mereka-mereka yang dari hati ingin memajukan pendidikan Indonesia agar Indonesia lebih baik.

Selasa, 01 Oktober 2013

SEBUAH MIMPI


Sebenarnya ini bukan kali pertama ada orang yang memimpikan saya meninggal. Sejak SMP, sudah beberapa teman bercerita mereka bermimpi saya meninggal. Bahkan pernah ada senior yang merasa dirinya bisa meramal melalui garis tangan. Ketika melihat garis di telapak tangan kiri saya, beliau langsung meletakkannya kembali. Beliau tidak mengucapkan apa-apa, selain:
”Setelah ini kamu banyak ibadah ya.”
Saat diberi tahu hal ini, saya berusaha mendapat penjelasan. Tetapi dia menolak. Beberapa waktu kemudian saya membaca buku tentang garis tangan. Saya baru tahu kemudian bahwa di telapak tangan saya tidak ada garis usia. Jadi, secara ramalan, seharusnya umur saya pendek.
Pagi ini, yang memimpikan saya meninggal adalah putri kecil saya yang baru berumur 5 tahun. Mimpi melihat saya meninggal karena tertabrak mobil membuatnya gemetaran dan menahan saya terus memeluknya di tempat tidur. Turun dari ranjang, sepanjang pagi dia habiskan waktu dalam gendongan saya.  
Saya akhirnya jadi mikir. Apakah ini tanda bahwa hari-hari terakhir ini kurang saya habiskan dengannya. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri dan pekerjaan, sehingga tidak cukup waktu bermain dan berinteraksi dengannya. Sebagai ibu, saya merasa menyesal luar biasa. Saya harus berusaha menata waktu dengan lebih baik agar putri saya puas bersama saya.
Di luar itu, saya tahu pada hakekatnya setiap yang hidup pasti meninggal. Hanya masalah waktu kapan panggilan itu datang. Untuk urusan ini, tidak satupun manusia yang tahu kapan gilirannya.
Saya menuliskan ini untuk mengingatkan diri saya sendiri. Saya harus menjadwal ulang semua kesibukan saya. Saya harus meningkatkan kualitas waktu saya dengan si kecil. Ada begitu banyak hal belum kami eksplorasi. Ada begitu banyak hal yang masih ingin kami lakukan bersama. Semoga sisa waktu yang masih diberikanNya akan menjadi berkah bagi kami semua. Semoga sisa umur kami bermanfaat bagi sesama.
Terlalu sederhana, memang. Tetapi rasanya sangat indah bagi seorang ibu mendapatkan rasa cinta anak-anak dan suaminya.
Siapapun anda yang masih bersama orang-orang yang anda cintai, terutama ibu, bersyukurlah. Karena ketika dia pergi, semua akan sangat berbeda. Mungkin saat itu anda baru sadar betapa berartinya dia. Semoga kita semua tergolong manusia yang pandai bersyukur.

Jumat, 21 Juni 2013

BERBAGI INSPIRASI DENGAN MENULIS


Dalam pemahaman saya, tugas utama seorang guru adalah membagikan ilmu yang dimiliki kepada peserta didik. Satu paket dengan tugas itu, maka guru sekaligus menjadi panutan dan pemberi petunjuk dalam bersikap untuk membentuk karakter siswa. Kita semua tentu sudah sangat mahfum dengan hal ini. Tidak heran jika seorang guru disebut-sebut sebagai sosok yang digugu lan ditiru.
Dalam pelaksanaannya, ada guru yang mengambil stereotype jenis Mak Lampir. Guru yang bersangkutan mengambil peran sebagai penegak disiplin dan menakutkan bagi siswa. Ketakutan pada kemarahan guru jenis ini membuat siswa menahan diri melakukan kesalahan. Meskipun sejauh pengamatan saya, siswa sangat menikmati saat-saat guru yang bersangkutan marah. Malah seringkali dengan sengaja siswa memancing emosi guru demi melihat beliau marah.
Ada pula jenis guru yang mengambil peran sangat longgar. Ia tidak masalah siswa bersikap tidak sopan padanya. Yang penting kurikulum yang harus disampaikan selesai. Habis perkara. Tidak peduli pelajaran yang diberikan masuk atau tidak. Tidak peduli pada karakter siswa. Baginya, itu tugas wali kelas dan orang tua.
Syukurlah masih banyak pula guru-guru yang berusaha menyampaikan ilmunya dengan menarik dan berkarakter. Selain mengajarkan ilmu, ia juga mengajarkan karakter baik pada anak. Ia sangat menyayangi anak-anak yang berusaha mengerjakan soal ujian dengan jujur. Jikalau si anak mengalami kegagalan dengan berbagai sebab, dengan tekun guru jenis ini membantu sampai si anak lulus. Biasanya, guru jenis ini secara otomatis juga disayangi siswa dan diteladani sikapnya.
Akhir-akhir ini, mulai bermunculan guru-guru yang tidak hanya eksis di kelas dan di sekolah. Guru-guru mulai eksis juga di media sosial dan media cetak. Baik itu melalui tulisan di surat kabar maupun buku. Kondisi ini sangat menggembirakan. Komunitas guru jumlahnya sangat besar. Masing-masing berasal dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki berbagai pengetahuan pendukung. Jika setiap guru menghasilkan satu saja tulisan dan diterbitkan, alangkah meriahnya dunia literasi kita. Bisa jadi kelak akan kita miliki penulis-penulis yang mendunia dari profesi guru.
Guru yang menulis juga dapat memotivasi siswa. Menembus media cetak dan menerbitkan buku bukan perkara mudah. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Mulai konten, EYD, orisinalitas sampai kekinian. Semua membutuhkan proses yang tidak singkat. Bahkan sering terjadi seorang penulis membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum tulisan pertamanya berhasil terbit. Terlebih jika penulis bukan berasal dari disiplin ilmu kebahasaan. Sementara, lulusan jurusan bahasa belum tentu bisa menghasilkan tulisan.
Keberhasilan seorang guru menembus media cetak menjadi sebuah nilai tambah yang membanggakan, menambah rasa percaya diri dan bisa menjadi sebuah bahan ketika ingin berbagi inspirasi dengan siswanya. Saya sudah menemukan beberapa teman guru yang telah berhasil menerbitkan tulisannya, kemudian membagi pula pengalamannya itu kepada siswa. Sungguh, semangat itu kemudian menular. Siswa yang tadinya melihat menjadi penulis adalah profesi yang tidak mungkin, bisa berubah pikiran dan mulai menulis. Guru jenis ini biasanya dengan senang hati memfasilitasi dan membantu siswanya sampai siswa berhasil menerbitkan tulisannya. Suasana belajar yang terbentuk dari proses seperti ini tentu sangat menyenangkan.
Selain bermanfaat dalam membangun bonding dengan siswa, tulisan yang dihasilkan seoran guru bisa menjadi nilai tambah secara pribadi. Bagi PNS, karya tulis memiliki nilai khusus dalam penilaian angka kredit.
Menyambung wejangan Prof. Dr Sri-Edi Swasono, tiga hal yang bisa membuat kita menjadi manusia yang lebih baik adalah membaca, belajar dan menulis. Jadi, jangan tunda lagi. Menulislah. Mulailah dari hal-hal kecil di sekitar anda. Mulailah dari sebuah buku diari kecil, tempat anda curahkan catatan tentang murid-murid hebat anda. Tentang anda dan keluarga. Perasaan-perasaan anda. Menulislah. Bagikan inspirasi anda.




 Penulis adalah pengajar di SMK Negeri 3 Batu dan  SMP Tamansiswa Batu 
(Tulisan ini dimuat di tabloid Suara Pendidikan kota Batu, Jawa Timur pada edisi minggu kedua bulan Juni 2013. Post here as a reminder)

Bumerang Bernama Buku Tatib

Beberapa sekolah menerapkan buku bernama buku Tatib. Niatan awal memang untuk mendisiplinkan siswa. Banyaknya pelanggaran dan catatan pointnya akan menjadi salah satu pertimbangan perlakuan kepada siswa. Maksud saya, siswa dengan point pelanggaran melebihi sekian puluh, akan mendapat surat peringatan pertama. Jika terus menabung pelanggaran, SP2 turun. Jika masih berlanjut, bisa diskors. Setelah sekian ratus, akan dikembalikan kepada orang tua, dan sebagainya.
Jika peraturan ini diterapkan secara konsisten, mungkin tidak banyak masalah. Kenyataannya, surat peringatan itu tidak berpengaruh banyak pada siswa. Pada sekolah dengan siswa berkesadaran tinggi dan berorientasi masa depan, mereka akan keder mendapati punya point pelanggaran. mereka akan bangga jika point pelanggarannya nol. Tetapi jika siswa adalah sekelompok anak bengal, yang justru bangga dengan semakin banyaknya point pelanggaran, perlu dikaji ulang kegunaan buku ini. Terlebih jika sekolah termasuk sekolah dengan minim siswa. Bisa terjadi siswa dengan point ratusan tetap dipertahankan. Ini jelas melanggar peraturan itu sendiri. Yang terjadi pada siswa, mereka semakin menyepelekan guru dan tata tertib sekolah.
Jadi, sebelum memutuskan penggunaan buku catatan pelanggaran siswa, pikirkan kembali baik-buruknya. Lihat dulu kondisi siswa anda.
Saya sendiri berkeyakinan, catatan prestasi, setiap pencapaian dan peningkatan baiknya perilaku siswa akan lebih berguna bagi siswa itu. Reward akan lebih diingat siswa daripadan punishment.
Jadi, mau pilih yang mana?

Selasa, 18 Juni 2013

SUPPORT CIRCLE

Keep writing, that's your wings to fly.
Nice support from Eryunpas Setya Nurlaksono. Thanks, Bro. that's mean a lot for me. Good luck with the field you choose and chosen.
Ini status yang saya tulis di akun facebook untuk mengakhiri aktifitas, sekaligus menuliskan pelajaran hari ini. Saya bersyukur punya teman seperti Eryun, yang bisa mensupport saya di dunia yang saya pilih. Meski dia bukan satu-satunya. Saya merasa saat ini berkembang diantara orang-orang hebat, seperti Bunda Faradyna Istiqomah, Pak Eko Prasetyo, Ditra AK, bahkan murid-murid saya seperti Lani Aremanita dan Ismy Azzira. Saya bahkan dapat support juga dari orang yang tertarik membaca, tetapi masih dalam proses pembakaran menuju berani menulis Nurlia Paraspatty.  Tak lupa dengan Rahmat Kadepe yang menjadi teman curhat paling setia.  :)
Sungguh, tidak mudah menemukan orang-orang yang menghargai pilihan kita, bahkan memberikan support.  Tetapi yakinilah, jika kita terus menjadi pembelajar yang baik, terus berusaha dan terus memberikan bukti nyata, unsupported people  itu akan tahu juga bahwa mereka salah. 

Selasa, 30 April 2013

MUSIM PROMOSI

Bulan April sudah berlalu. Salah satu tanda jelas bahwa musim pengenalan sekolah sudah tiba. Sebut saja sebagai musim Promosi.
Ada berbagai metode yang digunakan sekolah untuk mempromosikan kampusnya.
Metode standar adalah bagi-bagi brosur berisi visi misi sekolah, alamat, gambar piala dan kegiatan sekolah.
Ada yang sedikit nyleneh karena memasukkan unsur pelajaran sekolah dalam brosur itu. Akibatnya brosur jadi seperti buku. Memang agak nekad dan butuh biaya cukup banyak. Tetapi terbukti bahwa cara ini cukup efektif. Minimal, buku itu berguna bagi anak-anak yang menerima, dalam mempersiapkan ujian  :)
Metode standar kedua adalah meminta waktu khusus ke sekolah yang dituju untuk melakukan presentasi kepada siswa yang akan lulus secara langsung. Metode ini butuh banyak waktu dan personil. Terlebih jika sekolah-sekolah target kompak memberi waktu yang bersamaan. Selamat pusing dan mobile, pokoknya.
Ada lagi yang mengadakan karnaval khusus sekolah. Seru memang. Menarik perhatian massa. Tetapi bisa dibayangkan besarnya biaya, mulai kostum, konsumsi, make up sampai transportasi. Tetapi memang ada sekolah yang melakukan hal ini.
Ada yang lebih kreatif, dengan mengadakan pameran dan lomba-lomba. Promosi jadi terlihat benar-benar digarap serius. Kalau yang ini, saya belum lihat hasilnya. Jadi belum bisa cerita sekarang. :p
Yang jelas, apapun metode yang digunakan, sebaiknya bermainlah secara fair. Hindari metode promosi yang langsung nembak calon siswa, memberikan formulir yang harus diisi saat itu juga. Hal ini dilakukan sambil menyodorkan seragam baru, bahkan tak jarang lengkap dengan buku. Sekolah yang kebanyakan dana memang bisa melakukan ini, tetapi jadi tidak fair dong. Terutama bagi sekolah lain yang sedang kekurangan dana. Fair play, please.

Rabu, 03 April 2013

Tantangan


Ini bukan sesi curhat. Tetapi berbagi tentang sebuah tantangan.
Bukan satu dua teman, baik guru maupun profesi lain yang berkata: "Saya punya banyak ide. Saya ingin menulis buku. Tetapi saya tidak punya cukup waktu."
Dulu, saya pikir itu hanya sebuah alasan klasik, mengada-ada, tanda kemalasan dan sebagainya.
Setelah benar-benar menjadi ibu rumah tangga sekaligus guru, tentor dan penyuka handycrafts, saya punya cerita yang berbeda.
Sungguh, saya dulu juga mengeluarkan alasan yang sama sebagai penghambat menghasilkan tulisan. Tetapi saya bersyukur bertemu teman-teman yang penuh inspirasi dan tidak pernah jenuh memotivasi saya. Saya berlindung kepada Allah dari sifat sombong. Saya hanya ingin berbagi melalui tulisan ini.
Sebagai ibu rumah tangga, saya mengasuh dua putri yang sedang aktif-aktifnya. Sebagai guru, saya mengajar di dua sekolah. Yang satu resminya 12 jam dan Kepala Perpustakaan, yang lain 26 jam dan staf Humas - BKK. Kalau ditotal, saya punya sekitar 50 jam kerja. Kalau dibagi 6 hari kerja, seharinya saya di sekolah selama 8 jam. Akibatnya, sebagai tentor saya hanya berani mengalokasikan waktu 2 jam seminggu untuk LBB, dan 10 jam untuk privat. 
Dengan segala aktifitas itu, saya merasa tertantang untuk belajar mengalokasikan waktu satu jam saja untuk menulis. Saya tidak mematok 1 jam itu harus di depan laptop. Kadang saya melakukan aktifitas penyusunan ide, tema atau alur sambil mencuci baju. Kadang sambil menunggu waktu masuk kelas, saya buka laptop dan menulis. Ke mana-mana saya terbiasa membawa buku catatan. Bagaimanapun, mencatat manual masih lebih praktis dan hemat energi daripada menggunakan gadget. sambil menunggu anak-anak selesai mengaji di TPQ, saya berusaha memanfaatkan waktu untuk membaca. Aktifitas ini saya hentikan jika ada teman sesama wali santri mengajak ngobrol. Saya melakukannya lagi jika obrolan beralih ke rerasan. Saya sudah kebal dengan godaan beliau-beliau bahwa saya belajar kok tidak selesai-selesai. :)
Semua saya lakukan karena saya merasa saya masih harus banyak belajar. Saya masih harus meningkatkan kemampuan saya. Butuh berbulan-bulan melawan berbagai alasan tadi. Tetapi setelah terbiasa, ternyata ada banyak celah untuk menghadapi semua tantangan tadi.
Jadi, teman. Jangan banyak alasan, deh. Mulai menulis, sekarang juga. Menulis itu tidak hanya ketak-ketik di lappy. Tetapi termasuk juga berimajinasi, menemukan ide, menangkap sinyal alam yang bakal menjadi inspirasi kita. 
Jika sudah menemukan inspirasi, segara cari pensil dan kertas, tuliskan. Mulai sekarang juga.  
Good luck!

Selasa, 05 Maret 2013

Mendapat Teman-teman yang Dasyat

Hari Minggu, tanggal 3 Maret 2013 saya mengikuti kegiatan Seminar Gerakan Guru Menulis yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI).
Sebelumnya, saya sudah mengenal IGI dan beberapa teman di dalamnya, meskipun lebih banyak di dumay. Bertemu muka dengan beliau-beliau, ternyata jauh lebih heboh dari apa yang saya harapkan dari sebuah seminar menulis yang diselenggarakan di kota Batu.
Pertama, respon peserta. Sejak datang saya sudah diberitahu bahwa puluhan peserta mundur karena ditugaskan menjadi pengawas pada sebuah try out. Kebetulan di hari dan waktu yang sama dilaksanakan Try Out yang dilaksanakan oleh sebuah partai politik. Tapi teman-teman tetap optimis. Syukurlah, meski tidak penuh total, kegiatan tetap berlangsung meriah.
Kegiatan dimulai dengan pembukaan oleh Bapak Yasin, salah satu pengurus IGI. Dengan gaya yang santai dan khas guru masa kini, beliau memperkenalkan IGI. Sebagian peserta yang aktif di dumay nampak tidak asing. Tetapi sebagian peserta baru tahu bahwa ada organisasi profesi guru selain PGRI. Organisasi aktif pula dan bergerak terutama di bidang menulis dan IT. Sangat berbeda.
Pembicara kedua, Bapak Eko Prasetyo, salah satu pendiri IGI. Ternyata, yang ini benar-benar serius tidak saya duga, bahwa Pak Eko adalah editor Jawa Pos. Dengan gaya bicara yang sangat dinamis, beliau memaparkan pentingnya seorang guru menulis. Melihatnya, saya terkagum-kagum. Nyatanya, dengan jam kerja mulai jam 5 sore sampai jam 1 pagi, Pak Eko masih menulis buku. Buku terbarunya berjudul Rumah Kartu, berisi puisi-puisi yang sebagian ditulis sebagai hadiah ulang tahun untuk istrinya. So sweet. Satu statemen yang sangat mencambuk saya adalah: "Guru yang mencintai profesinya adalah guru yang menulis".
Pembicara berikutnya, Bunda Istiqomah, atau yang lebih saya kenal sebagai Bunda Faradyna. Yang satu ini memang guru lokal Batu, yang telah menulis puluhan buku dan masih akan terus menulis. Kegiatan yang sedang gigih dilakukan adalah menyebarkan semangat menulis kepada teman-teman guru. Bunda Fara menggambarkan menulis adalah seperti ketika kita membuang urine. Semakin banyak minum, semakin banyak urine yang dikeluarkan. Semakin bermutu yang diminum, semakin bermutu pula urine yang dikeluarkan.
Pembicara terakhir adalah Gus Mus, kepala SMA An Nuqoyyah di Madura. Sekolah yang dulunya biasa saja, sekarang menjadi luar biasa berkat kepemimpinan beliau. Beliau berbagi pengalaman tentang menumbuhkan minat baca di kalangan peserta didik. Kembali bara yang dilemparkan kepada saya, karena saya juga tengah berkutat dengan perpustakaan. 
Sesi tanya jawab berlangsung sangat meriah. Di sesi ini baru ketahuan ada peserta yang datang jauh dari Tarakan dan Pasuruan. Wow.
Lepas dari itu semua, saya dan teman-teman peserta menjadi bersemangat. Seolah tak sabar menantikan pertemuan-pertemuan berikutnya. Bukan hal mudah memulai menulis, tetapi ketika sudah punya darah dan semangat itu, Insya Allah tidak ada yang sulit. Ketika ada guru-guru penulis-penulis hebat yang bersedia mendampingi, ikuti saja. Sungguh, hobi dan pertemanan ini tidak merugikan. Saya sangat bersyukur mendapatkan teman-teman yang dasyat.

Rabu, 20 Februari 2013

Writing Spirit

I don't really remember when I start to write. As far as I can remember, when I was an elementary school student, I have a diary, and I wrote in it almost everyday.
I like to write about my daily activity, my friends, or every special moment that I found around.
Then I found that it would be interesting to make a book or a novel. I start with a short story, and make it longer and longer. Of course it takes time to make it readable  :p
One day, when I already have a daughter, a friend call me and offer a chance to send my short story to a tabloid. The tabloid is about scout, called "Genderang". I send a short story and next month, I found that it's in the tabloid. The most interesting moment is that that 2 pages story can give me enough money to live for a week. Wow.
So I realize that this is an nice hobby to do.
Now, when I become a teacher, I learn to share this writing spirit to my friends, especially to my students. Everytime I got something from my writing, I share with them. I told them that writing is a good hobby to do.
I thanks God that now some students can be proud that they can write, too. And they get nice experiences and of course presents for their work.
Keep going, my students. Just be sure and be your self.

Rabu, 30 Januari 2013

Pertemanan


PERTEMANAN
Oleh Agustina Dewi Susanti

“Ayo, Gy, kita ke Morieta.” ajak Denada dan Weny seraya menggamit lenganku. Seperti biasa, aku tidak bisa menolak ajakan Denada dan teman-teman untuk window shopping di sebuah mal bernama Morieta. Namanya window shopping ya kami jalan-jalan tanpa arah dan tujuan jelas. Kegiatan ini sering kami lakukan sepulang kerja. Maklum, grup jomblowati gaul yang merasa perlu berolahraga. Berjalan mengelilingi mal selama satu jam termasuk olah raga juga bagi kami.
Kami melangkah di sepanjang koridor Morieta yang tidak terlalu lengang sore itu. Sambil melangkah dan menoleh ke kanan-kiri, kami mengobrol tentang pekerjaan yang cukup padat. Kami berhenti di depan sebuah butik yang mengkhususkan diri pada gaun malam. Denada menarik tanganku masuk ke butik itu. Seorang SPG menyambut kami dengan antusias. Teman-temanku mulai menyibak deretan baju-baju di gantungan. Mereka juga mengamati detil gaun yang dikenakan manekin. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka kegiatan ini. Tetapi mereka teman akrabku di kantor. Jadi tidak enak kalau aku menolak ajakannya.
”Gy, yang ini cocok untukmu. Coba gih!” kata Denada seraya menempelkan sebuah gaun ke badanku.
”Kamu saja yang coba.” kataku mencoba menolak. Denada mulai dengan rayuannya.
”Ayolah, Gy. Dicoba saja. Sayang gaun cantik begini. Lagipula kamu tidak punya gaun seperti ini. Ingat, besok malam kita diundang Pak Bos makan malam.” Kata Denada. Teman-teman yang lain turut mengerubungiku dan mengeluarkan berbagai argumen yang membuatku akhirnya masuk ke ruang ganti. Aku mencoba baju itu. Terlalu terbuka di bagian dada. Lengan berbentuk mangkuk juga terasa kurang nyaman di pundak. Entahlah. Mungkin ada yang kurang pas jahitannya.
”Wow, cantik. Mbak, Egy beli gaun yang ini. Yang ini saya yang beli.” kata Weny sambil menyerahkan gaunnya ke kasir. Aku sudah buka mulut akan bicara. Tapi Weny menyikut bahuku agar segera membayar. Terpaksa aku gesek kartu lagi.
”Nah, selesai beli gaun, kita makan yuk. Gy, sekarang giliran kamu yang traktir kita.” kata Andini. Aku mengerutkan dahi. Perasaan aku baru saja mentraktir mereka minggu yang lalu. Kapan giliran Denada dan Weny.
”Lho, aku kan sudah waktu makan siang kemarin. Kamu tidak ikut sih. Salah sendiri. Weny traktir kita waktu sarapan hari sebelumnya. Kamu juga belum datang ke kantor. Jadi ditinggal. Kamu belum beruntung.” kata Denada dengan santai. Kuhela nafas. Kami pindah ke food court. Mereka membuatku mual dengan menu pilihannya. Sangat beragam, setiap orang pesan paling tidak dua masakan, dan tentu saja meja kami penuh karenanya. Untuk makan berempat saja aku menghabiskan hampir seperempat gajiku. Wah, ini sudah keterlaluan. Aku jadi tidak bisa menikmati makananku. Terlebih, mereka yang pesan macam-macam itu kemudian tidak menghabiskan makanannya. Alasannya sudah kenyang. Kalau tidak terlalu lapar kenapa memesan begitu banyak makanan.
”Kalau kamu mau, minta dibungkus saja. Kami sih, gengsi melakukan itu.” kata Weny sambil mencibirkan bibirnya. Aku terpaku. Kepalaku terasa mendidih.
”Aku sudah bayar semua. Aku harus segera pulang. Aku duluan, ya.” kataku cepat.
”Lho, kita kan belum belanja aksesoris. Belum belanja sepatu. Belum beli make up baru. Belum cream bath juga. Kok buru-buru sih. Santai saja, Gy.” kata Denada. Kugelengkan kepala dan segera berjalan meninggalkan meja itu.
”Lho, Gy. Aku pulangnya bagaimana?” tanya Weny. Aku berbalik sambil tetap melangkah. Aku hanya mengangkat bahu.
Sampai di kamar kostku, kubuka kemasan gaun itu. Gaun yang sama sekali tidak kuinginkan. Gaun yang menguras seperempat bagian yang lain dari gajiku. Aku juga mengamati saldo di layar hp kiriman sms banking. Minim sekali untuk membayar semua tagihanku. Bisa terpaksa puasa sebulan penuh.
Kurebahkan punggung ke atas kasur. Aku merenungi pertemananku dengan Denada, Weny dan Andini. Mereka bertiga memang hobi mengikuti mode terbaru. Mereka sangat suka berbelanja. Mereka sangat suka tampil trendy. Sedangkan aku, baru sekarang aku menyadari betapa selama ini aku lebih sering menjadi kambing congek mereka. Aku tahu betul acara makan siang dan sarapan yang tadi dikatakan Denada tidak pernah ada. Di waktu makan siang itu aku ingat kantor kami mendapat kiriman makanan dari istri Bos yang sedang syukuran hari ulang tahun. Sedangkan paginya, aku datang lebih awal dari mereka. Jadi omong kosong kalau mereka tidak mengajakku karena aku terlambat datang ke kantor. Mereka berbohong agar aku bersedia membayar makanan mereka yang akhirnya juga disia-siakan itu. Mereka pasti sudah hafal aku tidak bisa menolak.
Film pendek adegan-adegan belanjaku diputar kembali dengan cepat. Bagaimana aku terpaksa membeli sepatu berhak 13 cm. Bagaimana aku membeli panci tekan yang di rumah kos tidak pernah kugunakan. Bagaimana aku membeli beraneka produk make up keluaran terbaru. Satu hal lagi, sepatu berhak 13 cm itu sekarang ada pada Weny. Pinjam, istilahnya. Tetapi tiap kali kutagih, dia menunda dengan berbagai alasan. Produk make up-ku juga jarang kupakai. Yang sering menghabiskan malah mereka bertiga. Begitupun beraneka baju yang kubeli atas usulan mereka. Hampir 90% telah menjadi penghuni lemari mereka. Aku jadi geram dan jengkel dengan diriku sendiri. Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya. Aku begitu bodoh.
Mulai saat ini, aku harus berubah. Aku harus tegas. Dengan penuh kesungguhan aku berdoa kepada Tuhan agar jika teman-temanku itu tidak baik bagiku, maka mohon dijauhkan. Jika mereka baik bagiku, tolong jadikan mereka teman-teman setia.
Doaku terjawab esok malamnya dalam acara makan malam. Mereka menjauhiku. Nampak jelas mereka kasak-kusuk membicarakanku. Nadanya jelas negatif. Ya sudah, aku malah bersyukur jauh dengan mereka. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa melepaskan diri dari peran menjadi boneka. Mereka dan aku adalah pertemanan yang tidak tepat.


(tulisan ini telah dibukukan bersama karya-karya penulis lain dalam Shopaholic Diary, yang diterbitkan AE Publishing)